Oleh : Decky Umamur Rais
Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan penuh harap (akan dikabulkan). Sesungguhnya, rahmat Allah sungguh dekat dengan orang-orang yang berbuat baik..
(QS. al-A’raf/7: 56)
Eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam dilihat sebagai penyebab utama terjadinya bencana alam seperti longsor maupun banjir di Indonesia dalam kurun waktu setahun terakhir ini. Bencana alam ini tidak hanya telah mengakibatkan ratusan manusia kehilangan nyawa, tetapi juga ribuan manusia kehilangan tempat tinggal mereka.
Bencana lingkungan seperti tsunami, banjir, tanah longsor, lumpur, dan gempa adalah sederet bencana yang datang silih berganti. Tetapi, bencana-bencana tersebut tidak selamanya disebabkan faktor alam. Banjir dan tanah longsor misalnya, merupakan bencana yang tidak bisa dipisahkan dengan faktor manusia yang kurang ramah dengan alam dan lingkungannya sendiri.
Malapetaka ini disebabkan oleh rusaknya lingkungan dan hancurnya ekosistem alam, krisis ekologi, karena kerakusan manusia, eksploitasi liar tan pa henti terhadap alam adalah bukti kngkrit pada saat ini.
Dalam pelajaran ekologi manusia, kita akan dikenalkan pada teori tentang hubungan manusia dengan alam. Salah satunya adalah anthrophosentis. Di sana dijelaskan mengenai hubungan manusia dan alam. Dimana manusia menjadi pusat dari alam. maksudnya semua yang ada dialam ini adalah untuk manusia.
Allah SWT. juga menjelaskannya dalam Al Qur’an, bahwa semua yang ada dialam ini memang sudah diciptakan untuk kepentingan manusia.“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” (al Baqarah: 29). tapi berbeda dengan anthoroposentris yang menempatkan manusia sebagai penguasa yang memiliki hak tidak terbatas terhadap alam, maka islam menempatkan manusia sebagai rahmat bagi alam..“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”(al Anbiyaa’:107)
Kita sudah sama-sama tahu bahwa, pemanfaatan alam yang berlebihan selama ini telah menimbulkan dampak negatif yang besar bagi manusia dan alam itu sendiri. Rusaknya hutan, bencana banjir, tercemarnya air, tanah dan udara. Semua itu merupakan contoh nyata dari hasil pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebih-lebihan. Allah SWT memang melarang kita berlebih-lebihan dalam memanfaatkan alam.“…dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (al An’am:141).
Akibat perbuatan manusia yang rakus manusia saat ini besok dan dimasa yang akan datang harus menanggung resiko menghadapi kekuatan alam yang maha dahsyat. Langkah strategis perlu dilakukan denagan melakukan pendekatan-pendekatan yang lebih spritualis. Hal ini dilakukan untuk mengimbangi strategi melalui jalur sains dan jalur-jalur lainnya yang mulai terhambat.
Pengendalian kerusakan lingkungan harus dimulai dari pengendalian manusia sebagai subjek atas lingkungan lingkungan itu sendiri. Adalah hal yang fatal ketika harus mendikotomikan antara peran lingkungan dan manusia, karena manusia adalah bagian dari tata ekosistem lingkungan itu sendiri dan itu sudah given tidak bisa diutak atik lagi.
Indonesia Kini
Ketika alam sudah marah, siapakah yang salah? Alamkah atau manusia terlalu serakah? Tapi fakta membuktikan, manusia seringkali memperlakukan alam secara tidak proporsional. Padahal semestinya manusia bersikap ramah terhadapnya.
Sebuah rekor yang patut disayangkan dan memalukan. Negara masuk buku rekor dunia (Guinness World Records) yang dirilis bulan September pada tahun ini. Indonesia dijuluki sebagai perusak hutan tercepat di dunia dari 44 negara yang secara kolektif memiliki 90 % dari luas hutan di dunia.
Atas penilaian itu, kita sebenarnya tak perlu mencari alasan untuk memungkirinya. Bagaimana pun, kita mesti mengakui, kasus pembalakan hutan secara liar telah menjadi fakta. Sudah tak terhitung jumlah hutan yang digunduli oleh tangan-tangan usil tak bertanggung jawab. Dalam surat resmi berisi sertifikat yang dikirimkan oleh Green Peace tercatat, sekitar 1,8 juta hektare hutan yang dihancurkan pertahun mulai tahun 2000 sampai 2005, berarti kehancuran hutan sekitar 2 % atau 51 kilometer perhari. Sungguh luar biasa. Saking parahnya, anggota Komisi V (Bidang Kehutanan), Tamsil memperkirakan + 40-50 tahun lagi, hutan Indonesia akan pulih seperti sedia kala.
Lebih lanjut, Hasporo menjelaskan penyebab deforestasi (penurunan luas hutan) adalah illegal logging (penebangan hutan tanpa izin pemerintah), legal loging (penebangan hutan dengan izin melalui HPH -Hak Pengelola Hutan- dan HTI -Hutan Tanaman Industri) dan juga akibat kebakaran hutan. Kasus deforestasi ini, menurut juru kampanye hutan Green Peace, Bustar Maitar juga memberi dampak pada sumbangan emisi gas rumah kaca yang mengakibatkan global warming (pemanasan global). Dalam hal ini, Indonesia termasuk penyumbang terbesar ketiga setelah Amerika dan Tiongkok. Ini artinya, Indonesia juga turut ambil bagian atas terjadinya pemanasan global.
Jika masalah kerusakan hutan tak segera ditangani, bukan tidak mungkin hutan di Indonesia akan punah. Dalam hal ini, pemerintah sebenarnya telah mempunyai agenda berupa penghentian penebangan sementara (moratorium). Hanya saja, pemerintah masih lemah dalam penegakan hukum. Masih banyak penebang liar yang lolos dari jeratan hukum. Ini pasti ada pihak aparat yang menyusup menjadi si ‘Raja Hutan’.
Padahal, dampak kerusakan hutan ini sungguh berbahaya. Sebagian besar kawasan Indonesia telah menjadi kawasan rentan bencana. Baik bencana kekeringan, maupun tanah longsor. Sejak 1998 sampai pertengahan 2003, telah terjadi 647 bencana di Indonesia dengan korban 2.022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah. 85 % berupa banjir dan longsor yang diakibatkan kerusakan hutan. (baca: JP, Jum’at 04 Mei 2007)
Selain itu, kerusakan hutan bisa menimbulkan polusi udara, yang menyebabkan mewabahnya pelbagai penyakit, seperti saluran pencernaan, influenza, pernafasan, lading paru-paru, jaringan kulit dan sebagainya. Kita tentu tak ingin dampak buruk ini terjadi di negeri kita. Karena itu, pemerintah harus secepatnya melakukan renovasi hutan, apalagi pada tahun ini, anggaran sebesar 4.2 triliyun dialokasikan untuk keperluan rehabilitasi hutan.
Relasi Peran dan Fungsi Agama (Islam) dengan Lingkungan
Ajaran Islam menawarkan kesempatan untuk memahami Sunatullah serta menegaskan tanggung jawab manusia. Ajaran Islam tidak hanya mengajarkan untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, tetapi juga mengajarkan aturan main dalam pemanfaatannya dimana kesejahteraan bersama yang berkelanjutan sebagai hasil keseluruhan yang diinginkan.
Salah satu Sunnah Rasullullah SAW menjelaskan bahwa setiap warga masyarakat berhak untuk mendapatkan manfaat dari suatu sumberdaya alam milik bersama untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sepanjang dia tidak melanggar, menyalahi atau menghalangi hak-hak yang sama yang juga dimiliki oleh orang lain sebagai warga masyarakat. Penggunaan sumberdaya yang langka atau terbatas harus diawasi dan dilindungi
Pemahaman untuk melindungi lingkungan hidup merupakan bagian dari perwujudan ibadah manusia Sebagai khalifah, dimuka bumi ini.
Diperlukan pandangan yang arif dan komprehensif agar dapat melihat persoalan-persoalan di lingkungan secara bijaksana agar dapat memberikan solusi yang terbaik. Terdapat empat hal dalam memahami masalah lingkungan, diantaranya, pendekatan scientific (pembuktian empiris, penelitian, kajian ilmiah), konstruksi sosial budaya (interpretasi sosial budaya terhadap alam lingkungan), dan agama (teologi)
Peran agama dalam hal ini adalah memberikan ruang integrasi berbagai kearifan (keilmuan, budaya, politik, ekonomi, dsb), untuk menjadi kanal dari terbentuknya transformasi sosial, serta menyediakan wahana untuk memahami peristiwa alam contoh, kasus Merapi yang diinterpretasikan lain oleh setiap orangnya.
Masalah lingkungan diantara posisi agama dalam lingkungan, merupakan masalah non-market but moral issues. Sistem nilai dalam agama akan sangat membantu dalam mendukung keberlanjutan kehidupan manusia dengan memberikan kesempatan bagi generasi mendatang untuk menghuni bumi dengan segala lingkungannya yang masih asri. Tak ada satu ajaranpun yang mengajarkan atau memberi hak kita untuk memakai alam ini seenaknya.
Agama dan lingkungan, membentuk pandangan baru terhadap alam, misalnya melalui pemahaman kontekstual kitab-kitab suci dan tradisi religius keagamaan tentang alam, meningkatkan kesadaran untuk membangun basis untuk aksi, baik melalui fiqih lingkungan/teologi lingkungan, pemuka agama, dan lembaga keagamaan.
Islam menekankan umatnya untuk menjaga kelestarian lingkungan dan berlaku arif terhadap alam (ecology wisdom). Dalam QS. al-Anbiya/21: 35-39 Allah mengisahkan kasus Nabi Adam. Adam telah diberi peringatan oleh Allah untuk tidak mencabut dan memakan buah khuldi. Namun, ia melanggar larangan itu. Akhirnya, Adam terusir dari surga. Ia diturunkan ke dunia. Di sini, surga adalah ibarat kehidupan yang makmur, sedangkan dunia ibarat kehidupan yang sengsara. Karena Adam telah merusak ekologi surga, ia terlempar ke padang yang tandus, kering, panas dan gersang. Doktrin ini mengingatkan manusia agar sadar terhadap persoalan lingkungan dan berikhtiar melihara ekosistem alam.
Selain itu kita juga harus mampu memahami konteks missi Islam sebagai Rahmatan Lil Alamiin atau rahmat bagi sekalian alam. Kata alam disini jelas bukan hanya makhluk hidup seperti mausia dan binatang, tetapi juga alam semesta. Bahkan jika melihat Al-Quran , dipastikan akan banyak ditemui ayat-ayat yang berbicara tentan lingkungan hidup.
Mantan Rais Aam PBNU KH Ali Yafie dalam bukunya Merintis Fiqih Lingkungan HIdup (2006) mengatakan, sekitar 95 ayat Al-Quran berbicara tentang lingkungan hidup beserta larangan-larangan Allah SWT untuk berbuat kerusakan. Antara lain QS Al-Baqoroh 11, 12, 27, 30, 60, 220, 251; Ali Imran : 63; Al-Maidah: 64; dan Al-A’raf : 56, 74, 85, 86, 103, 127, 142. Demikian pula hadist-hadist nabi yang berbicara tentang lingkungan hidup juga tidak sedikit. Salah satu contohnya adalah keteadanan rosulullah SAW yang menganjurkan pemeliharaan lingkungan . “ Barang siapa yang memotong pohon sidrah maka Allah akan meluruskan kepalanya tepat kedalam neraka” (HR. Abu Dawud dalam Sunan-Nya).
Jauh sebelumnya, Islam sebenarnya telah mewanti-wanti kepada kita agar berbuat ramah terhadap alam dan lingkungan sekitar. Islam telah memberi tuntunan bagaimana kita berinteraksi dengan lingkungan.
Jagad raya ini diciptakan oleh Tuhan supaya manusia bisa melanjutkan evolusinya hingga mencapai tujuan penciptaan. Karenanya, seluruh potensi alami memiliki manfaat untuk tujuan yang sama. Tak ada yang sia-sia. Pada surat Shad ayat 27, Tuhan berfirman, “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah”. Jadi, Tuhan tidak pernah menciptakan makhluk kecuali ada tujuan agung yang akan dicapai. Tuhan berfirman dalam surat al-Ahqaf ayat 3 :”Kami tiada menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan.”
Salah satu tujuan penciptaan alam adalah untuk menjaga keseimbangan. Penciptaan hewan, tumbuh-tumbuhan, air, batu-batuan dan gunung berfungsi sebagai pengokoh bumi agar tidak goyah dan terhindar dari banjir dan erosi. Langit dan hujan berguna untuk menumbuhkan tanaman di bumi. Semua itu bertujuan sebagai ekosistem kehidupan manusia. Semuanya telah diukur sesuai kadarnya. Sehingga, ketika salah satu komponen isi alam raya ini terganggu, maka yang lainya ikut terganggu pula (Zad al-Masir, IV, 58, )
Secara tersirat, pengaturan ciptaan itu dapat kita ketahui dari beberapa ayat dalam al-Quran, antara lain pada surat al-Hijr ayat 9: “Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran.”
Dan pada surat Luqman ayat 10: “Dia (Allah) menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan Dia meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu tidak menggoyangkan kamu; dan memperkembangbiakkan padanya segala macam jenis binatang. Dan Kami turunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik”.
Kita harus menyadari bahwa semua makhluk hidup di muka bumi ini hidup serba ketergantungan antara satu dengan lainnya. Tanaman, hewan dan kekayaan alam lainnya butuh perawatan dari kita agar keberlangsungan hidupnya terjaga dengan baik, sebaliknya kita juga memerlukan kekayaan alam untuk bertahan hidup di muka bumi. Jadi, hubungan kita dengan alam bersifat simbiosis mutualisme (saling menguntungkan). Karenanya keseimbangan dan keserasian perlu dijaga agar tidak terjadi kerusakan.
Hal itu memang tugas kita sebagai khalifah fil ardhi. Kita dituntut untuk berhubungan baik dengan alam, baik sesama manusia serta dengan alam dan segala isinya. Kita diharapkan bisa berinteraksi secara harmonis dengan lingkungan. Bersikap ramah dan menjaga kelestarian alam. Tapi kenyataannya, manusia terlalu rakus. Membuat keonaran, kerusakan dan pencemaran serta mengeksploitasi alam secara tidak seimbang. Kekayaan alam hanya dipandang sebagai alat tujuan konsumtif belaka. Ia dianggap tak lebih sebagai piranti mesin-mesin ekonomi. Padahal, lebih dari itu, alam mempunyai peran atas ekosistem kehidupan manusia (Tafsir Alusi, I, 256, Tafsir Razi, XII, 264)
Islam tentu tak merestui tindakan sewenang-wenang dengan memperlakukan alam secara dzalim. Hal itu bisa kita lihat dari anjuran agama dalam beberapa hal. Antara lain: (1) Nabi memberi nama pada benda tak bernyawa agar si ‘empu’-nya juga dihormati layaknya manusia. (2) kita dilarang mengeksploitasi kekayaan alam secara berlebihan (boros) sehingga mengakibatkan alam kehilangan keseimbangan (3) kita disuruh untuk menghindari dua kutukan, membuang kotoran di jalan dan di tempat orang berteduh (5) kita dilarang mengganggu proses yang dilakukan oleh makhluk sampai mencapai tujuan penciptaannya. Karenanya, kita tidak boleh memetik buah sebelum bisa dipakai untuk dimanfaatkan dan bunga sebelum berkembang. Begitulah salah satu cara Islam memberlakukan alam. Dan cara-cara yang lain tentu masih banyak. (baca: Quraisy Shihab; Membumikan al-Quran)
Lalu bagaimana Islam menanggapi para perusak alam (hutan, gunung, lautan, dll)? Memang, ketika ilmu pengetahuan dan tekhnologi semakin maju manusia akan merasa kuat dan akan melakukan segalanya tanpa perhitungan matang. Tuhanpun mengakui sikap gegabah manusia. Coba kita baca surat al-’Alaq ayat 6-7: “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.”
Jauh sebelumnya, Islam telah melarang kita untuk berbuat kerusakan di muka bumi. Tuhan berfirman pada surat al-A’raf ayat 56 : “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya.”
Menurut kajian ushul fiqh, ketika kita dilarang melakukan sesuatu berarti kita diperintah untuk melakukan kebalikannya. Misalnya, kita dilarang merusak alam berarti kita diperintah untuk melestarikan alam. Adapun status perintah tersebut tergantung status larangannya. Contoh, status larangan merusak alam adalah haram, itu menunjukkan perintah melestarikan alam hukumnya wajib. (Jam’ul Jawami’, I. 390)
Sementara itu, Fakhruddin al-Raziy dalam menanggapi ayat di atas, berkomentar bahwa, ayat di atas mengindikasikan larangan membuat mudharat (bahaya). Dan pada dasarnya, setiap perbuatan yang menimbulkan mudharat itu dilarang oleh agama. Al-Qurtubi menyebutkan dalam tasfirnya bahwa, penebangan pohon juga merupakan tindakan pengrusakan yang mengakibatkan adanya mudharat. Beliau juga menyebutkan bahwa mencemari air juga masuk dalam bagian pengrusakan. (al-Tafsir al-Kabir, IV, 108-109 ; Tafsir Al-Qurtubi, VII, 226)
Larangan di atas bukan lantas melarang kita memanfaatkan kekayaan jagat raya ini. Sebab kekayaan alam ini diperuntukkan bagi manusia. Kita dibolehkan mengambil manfaat dari kekayan alam ini asal tidak sampai berlebihan. Di samping itu, perlu dicatat untuk konteks Indonesia, memanfaatkan kekayaan alam harus mendapat izin dari pemerintah. Makanya, illegal loging dan pemanfaatan lain secara illegal haram hukumnya. Sebab, mengikuti peraturan yang telah ditetapkan pemerintah adalah sebuah kewajiban yang sangat mengikat, selama peraturan itu tidak bertentangan dengan syariat Islam, dan demi kemaslahatan rakyat. (Hawasyi al-Syarwaniy, VII, 76 ; al-Fiqh al-Islamiy, V, 505)
Lalu, sanksi apa yang patut diberikan kepada perusak alam? Para pelaku kejahatan harus mendapat ganjaran yang setimpal. “Barang siapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan (telah diperbuat) itu.” (QS. Ghafir: 40)
Kalau kerusakan yang dilakukan tidak sampai mengakibatkan bahaya besar, maka hukuman yang bisa diterima cukup dengan di-ta’zir. Artinya pemerintah bisa menyanksi sesuai dengan kadar kejahatannya. Namun, jika perbuatannya mengakibatkan dampak besar, seperti penebangan pohon secara besar-besaran yang mengakibatkan banjir, longsor, gempa dan musibah lainnya, maka tak ada tawaran lain, pelakunya harus diberi hukuman yang berat. Bahkan, menurut fikih, perbuatan itu termasuk kejahatan besar dan pelakunya sudah sepantasnya dibunuh. Apalagi perbuatan itu telah dilakukan berkali-kali. Begitu juga, pihak keamanan (polisi hutan) yang mendukung aksi illegal logging juga harus dibunuh. Pembunuhan ini berlaku pada setiap tindak kriminal lainnya yang sulit dicegah kecuali dengan cara dibunuh. (Bughyah al-Mustarsyidin, 250; al-Fiqh al-Islamiy, VI, 200 ; al-Islam li Sa’id Hawwa, 585; al-Fiqh al-Islamiy, VI, 200).
Allah memerintahkan kita untuk memakmurkan bumi ini dengan mengelola dan memanfaatkannya dan tidak menyia-nyiakan potensinya. Apalagi sampai pada tingkat, lebih mementingkan kelangsungan hidup satwa atau tumbuhan dari pada kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia. “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” (al Baqarah: 29). ” Dia menciptakan langit dan bumi dengan hak. Maha Tinggi Allah daripada apa yang mereka persekutukan. Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata. Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebagiannya kamu makan. Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan. Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya. (an Nahl: 3-8).
Manusia (Kalifah) Berkewajiban Untuk Melindungi Lingkungan Hidup
Ajaran Islam menawarkan kesempatan untuk memahami Sunatullah serta menegaskan tanggung jawab manusia. Ajaran Islam tidak hanya mengajarkan untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, tetapi juga mengajarkan aturan main dalam pemanfaatannya dimana kesejahteraan bersama yang berkelanjutan sebagai hasil keseluruhan yang diinginkan.
Salah satu Sunnah Rasullullah SAW menjelaskan bahwa setiap warga masyarakat berhak untuk mendapatkan manfaat dari suatu sumberdaya alam milik bersama untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sepanjang dia tidak melanggar, menyalahi atau menghalangi hak-hak yang sama yang juga dimiliki oleh orang lain sebagai warga masyarakat. Penggunaan sumberdaya yang langka atau terbatas harus diawasi dan dilindungi. Pemahaman untuk melindungi lingkungan hidup merupakan bagian dari perwujudan ibadah harus dikongkrtkan dalm bentuk dalil-dalil syar’iyah yang bisa dijadikan landasn teologis dalm konservasi lingkungan
Fiqih lingkungan (fiqh al-bi’ah) Sebuah Keharusan
“Kebersihan adalah sebagian dari iman.”
“Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan” (Al-Hadis).
Kasus bencana nasional Lumpur lapindo yang belum usai diporong, sidoarjo seakan merupakan sinyal yang dimaksudkan untuk menggugat kembali komitment agama (Islam) terhadap permasalahan ekologi. Mempertanyakan komitment agama terhadap lingkungan hidup kian menemukan mumentumnya mengingat akan datangnya musim hujan. Berbagai daerah di Tanah Air akan disibukkan dengan permasalahan klasik semisal banjir dan longsor. Padahal, sebelumnya kalau musim kemarau kita diuji dengan kekeringan dan kebakaran hutan.
Islam menekankan umatnya untuk menjaga kelestarian lingkungan dan berlaku arif terhadap alam (ecology wisdom). Dalam QS. al-Anbiya/21: 35-39 Allah mengisahkan kasus Nabi Adam. Adam telah diberi peringatan oleh Allah untuk tidak mencabut dan memakan buah khuldi. Namun, ia melanggar larangan itu. Akhirnya, Adam terusir dari surga. Ia diturunkan ke dunia. Di sini, surga adalah ibarat kehidupan yang makmur, sedangkan dunia ibarat kehidupan yang sengsara. Karena Adam telah merusak ekologi surga, ia terlempar ke padang yang tandus, kering, panas dan gersang. Doktrin ini mengingatkan manusia agar sadar terhadap persoalan lingkungan dan berikhtiar melihara ekosistem alam.
Akan tetapi, doktrin tersebut tidak diindahkan. Perusakan lingkungan tidak pernah berhenti. Eksplorasi alam tidak terukur dan makin merajalela. Dampaknya, ekosistem alam menjadi limbung. Ini tentu saja sangat mengkhawatirkan. Alam akan menjadi ancaman kehidupan yang serius. Ia senantiasa siap mengamuk sewaktu-waktu.
Karena itulah, merumuskan sebuah fiqh lingkungan (fiqh al-biah) menjadi sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Yaitu, sebuah fiqh yang menjelaskan sebuah aturan tentang perilaku ekologis masyarakat muslim berdasarkan teks syar’i dengan tujuan mencapai kemaslahatan dan melestarikan lingkungan.
Dalam rangka menyusun fiqh lingkungan ini (fiqh al-biah), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, rekonstruksi makna khalifah. Dalam al-Qur�an ditegaskan bahwa menjadi khalifah di muka bumi ini tidak untuk melakukan perusakan dan pertumpahan darah. Tetapi untuk membangun kehidupan yang damai, sejahtera, dan penuh keadilan. Dengan demikian, manusia yang melakukan kerusakan di muka bumi ini secara otomatis mencoreng atribut manusia sebagai khalifah (QS. al-Baqarah/2: 30). Karena, walaupun alam diciptakan untuk kepentingan manusia (QS. Luqman/31: 20), tetapi tidak diperkenankan menggunakannya secara semena-mena. Sehingga, perusakan terhadap alam merupakan bentuk dari pengingkaran terhadap ayat-ayat (keagungan) Allah, dan akan dijauhkan dari rahmat-Nya (QS. al-A�raf/7: 56).
Karena itulah, pemahaman bahwa manusia sebagai khalifah di muka bumi ini bebas melakukan apa saja terhadap lingkungan sekitarnya sungguh tidak memiliki sandaran teologisnya. Justru, segala bentuk eksploitasi dan perusakan terhadap alam merupakan pelanggaran berat. Sebab, alam dicipatakan dengan cara yang benar (bi al-haqq, QS. al-Zumar/39: 5), tidak main-main (lab, QS. al-Anbiya/21: 16), dan tidak secara palsu (QS. Shad/38: 27).
Kedua, ekologi sebagai doktrin ajaran. Artinya, menempatkan wacana lingkungan bukan pada cabang (furu), tetapi termasuk doktrin utama (ushul) ajaran Islam. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Yusuf Qardhawi dalam Riayah al-Biah fiy Syariah al-Islam (2001), bahwa memelihara lingkungan sama halnya dengan menjaga lima tujuan dasar Islam (maqashid al-syariah). Sebab, kelima tujuan dasar tersebut bisa terejawantah jika lingkungan dan alam semesta mendukungnya. Karena itu, memelihara lingkungan sama hukumnya dengan maqashid al-syariah. Dalam kaidah Ushul Fiqh disebutkan, ma la yatimmu al-wajib illa bihi fawuha wajibun (Sesuatu yang membawa kepada kewajiban, maka sesuatu itu hukumnya wajib).
Ketiga, tidak sempurna iman seseorang jika tidak peduli lingkungan. Keberimanan seseorang tidak hanya diukur dari banyaknya ritual di tempat ibadah. Tapi, juga menjaga dan memelihara lingkungan merupakan hal yang sangat fundamental dalam kesempurnaan iman seseorang. Nabi bersabda bahwa kebersihan adalah bagian dari iman. Hadits tersebut menunjukkan bahwa kebersihan sebagai salah satu elemen dari pemeriharaan lingkungan (riayah al-biah) merupakan bagian dari iman. Apalagi, dalam tinjauan qiyas aulawi, menjaga lingkungan secara keseluruhan, sungguh benar-benar yang sangat terpuji di hadapan Allah.
Keempat, perusak lingkungan adalah kafir ekologis (kufr al-biah). Di antara tanda-tanda kebesaran Allah adalah adanya jagad raya (alam semesta) ini. Karena itulah, merusak lingkungan sama halnya dengan ingkar (kafir) terhadap kebesaran Allah (QS. Shad/38: 27). Ayat ini menerangkan kepada kita bahwa memahami alam secara sia-sia merupakan pandangan orang-orang kafir. Apalagi, ia sampai melakukan perusakan dan pemerkosaan terhadap alam. Dan, kata kafir tidak hanya ditujukan kepada orang-orang yang tidak percaya kepada Allah, tetapi juga ingkar terhadap seluruh nikmat yang diberikanNya kepada manusia, termasuk adanya alam semesta ini (QS. Ibrahim/14: 7).
Melihat konsepsi diatas Al-Quran telah membuat prinsip-prinsip etika dalam menjaga dan berhubungan antara manusia dengan makhlik hidup lainnya, yang bisa membentuk dasar-dasar etika bagi konservasi lingkungan hidup
Al-hasil, kalau kita tidak ingin alam ini kembali murka, maka kita harus merawatnya dengan baik. Bersahabatlah dengan lingkungan sekitar dengan ramah. Pemerintah jangan sampai melupakan komitmennya untuk menjaga kelestarian alam khususnya hutan. Jangan hanya membuat agenda, sementara realisasinya tidak ada. Lakukan reboisasi dan sanksi tegas para perusak alam. Masyarakat juga harus sadar terhadap bahaya perusakan hutan serta berpartisipasi untuk membangun kesadaran yang ramah lingkungan.
Sungguh, akan sangat efektif jika isu keagamaan bisa menjadi entry point bagi isu penyelamatan dan konservasi lingkungan hidup, mengingat agama merupakan salah satu ranah yang pada saat-saat tertentu mampu menjadi rem yang ampuh bagi hasrat manusia untuk melakukan suatu hal yang bersifat merusak.
Memang, tidak selamanya agama mampu memerankan perannya yang semacam itu. Namun, ketika jalur sains, atau jalur-jalur lainnya terhambat, ‘pintu agama’ bisa menjadi salah satu pintu untuk masuk ke dalam jiwa setiap orang, yang pada akhirnya mempengaruhinya agar tidak merusak lingkungan., atau dalam konteks keindonesiaan bermakna Fiqih Lingkungan Hidup, atau Islamic Environmental Law, merupakan salah satu pranata yang bisa mendukung visi tentang sinergi antara isu keagamaan dan isu konservasi lingkungan hidup tadi.
Manusia Dan Lingkungan Dalam Bingkai Al-Islam
Secara ekologis, manusia adalah bagian dari lingkungan hidup. Komponen yang ada disekitar manusia yang sekaligus sebagai sumber mutlak kehidupannya merupakan lingkungan hidup manusia. Lingkungan hidup inilah yang menyediakan berbagai Sumber Daya Alam (SDM) yang menjadi daya dukung bagi kehidupan manusia dan komponen lainnya. Kelangsungan hidup manusia tergantung dari keutuhan lingkungannya, sebaliknya keutuhan lingkungan tergantung bagaiman kearifan manusia dalam mengelolanya. Oleh karena itu, lingkungan hidup tidak semata mata dipandang sebagai penyedia Sumber Daya Alam yang harus di eksploitasi, tetapi juga sebagai tempat hidup yang mensyaratkan adanya keserasian dan keseimbangan antara manusia dan lingkungannya seperti yang digambarkan dalam Al-Quran.
Melalui Kitab Suci Al-Qur’an, Allah telah memberikan informasi spiritual kepada manusia untuk bersikap ramah terhadap lingkungan. Informasi tersebut memberikan sinyalamen bahwa manusia harus selalu menjaga dan melestarikan lingkungan agar tidak menjadi rusak, tercemar bahkan menjadi punah, sebab apa yang Allah berikan kepada manusia semata-mata merupakan suatu amanah. Melalui Kitab Suci yang Agung ini (Al-Qur’an) membuktikan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kepada umatnya untuk bersikap ramah lngkungan. Firman Allah SWT Di dalam Al-Qur’an sangat jelas berbicara tentang hal tersebut. Sikap ramah lingkungan yang diajarkan oleh agama Islam kepada manusia dapat dirinci sebagai berikut :
1. Agar manusia menjadi pelaku aktif dalam mengolah lingkungan serta melestarikannya
Dalam surat Ar Ruum ayat 9 “ Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang sebelum mereka? orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri. Pesan yang disampaikan dalam surat Ar Ruum ayat 9 di atas menggambarkan agar manusia tidak mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan yang dikwatirkan terjadinya kerusakan serta kepunahan sumber daya alam, sehingga tidak memberikan sisa sedikitpun untuk generasi mendatang. Untuk itu Islam mewajibkan agar manusia menjadi pelaku aktif dalam mengolah lingkungan serta melestarikannya.Mengolah serta melestarikan lingkungan tercermin secara sederhana dari tempat tinggal (rumah) seorang muslim. Rasulullah SAW menegaskan dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani :”Dari Abu Hurairah : jagalah kebersihan dengan segala usaha yang mampu kamu lakukan. Sesungguhnya Allah menegakkan Islam di atas prinsip kebersihan. Dan tidak akan masuk syurga, kecuali orang-orang yang bersih” . (HR. Thabrani). Dari Hadits di atas memberikan pengertian bahwa manusia tidak boleh kikir untuk membiayai diri dan lingkungan secara wajar untuk menjaga kebersihan agar kesehatan diri dan keluarga/masyarakat kita terpelihara.Demikian pula, mengusahakan penghijauan di sekitar tempat tinggal dengan menanamkan pepohonan yang bermanfaat untuk kepentingan ekonomi dan kesehatan, disamping juga dapat memelihara peredaran suara yang kita hisap agar selalu bersih, bebas dari pencemaran.Dalam sebuah Hadits disebutkan :”Tiga hal yang menjernihkan pandangan, yaitu menyaksikan pandangan pada yang hijau lagi asri, dan pada air yang mengalir serta pada wajah yang rupawan (HR. Ahmad)
2. Agar manusia tidak berbuat kerusakan terhadap lingkungan
Di dalam surat Ar Ruum ayat 41 Allah SWT memperingatkan bahwa terjadinya kerusakan di darat dan di laut akibat ulah manusia. “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Serta surat Al Qashash ayat 77 menjelaskan sebagai berikut : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. Firman Allah SWT di dalam surat Ar Ruum ayat 41 dan surat Al Qashash ayat 77 menekankan agar manusia berlaku ramah terhadap lingkungan (environmental friendly) dan tidak berbuat kerusakan di muka bumi ini. Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Anas, dijelaskan bahwa : ”Rasulullah ketika berwudhu’ dengan (takaran air sebanyak) satu mud dan mandi (dengan takaran air sebanyak) satu sha’ sampai lima mud” (HR. Muttafaq ’alaih). Satu mud sama dengan 1 1/3 liter menurut orang Hijaz dan 2 liter menurut orang Irak (lihat Lisanul Arab Jilid 3 hal 400). Padahal hasil penelitian yang dilakukan oleh Syahputra (2003) membuktikan bahwa rata-rata orang berwudhu’ sebanyak 5 liter. Hal ini membuktikan bahwa manusia sekarang cenderung mengekploitasi sumber daya air secara berlebihan, atau dengan kata lain, setiap manusia menghambur-hamburkan air sebanyak 3 sampai 3 2/3 liter setiap orangnya setiap kali mereka berwudhu’. Dalam Hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Nabi pernah bersabda :”Hati-hatilah terhadap dua macam kutukan; sahabat yang mendengar bertanya : Apakah dua hal itu ya Rasulullah ? Nabi menjawab : yaitu orang yang membuang hajat ditengah jalan atau di tempat orang yang berteduh” Di dalam Hadits lainnya ditambah dengan membuang hajat di tempat sumber air. Dari keterangan di atas, jelaslah aturan-aturan agama Islam yang menganjurkan untuk menjaga kebersihan dan lingkungan. Semua larangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah agar tidak mencelakakan orang lain, sehingga terhindar dari musibah yang menimpahnya.Islam memberikan panduan yang cukup jelas bahwa sumber daya alam merupakan daya dukung bagi kehidupan manusia, sebab fakta spritual menunjukkan bahwa terjadinya bencana alam seperti banjir, longsor, serta bencana alam lainnya lebih banyak didominasi oleh aktifitas manusia. Allah SWT Telah memberikan fasilitas daya dukung lingkungan bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, secara yuridis fiqhiyah berpeluang dinyatakan bahwa dalam perspektif hukum Islam status hukum pelestarian lingkungan hukumnya adalah wajib (Abdillah, 2005 : 11-12).
3. Agar manusia selalu membiasakan diri bersikap ramah terhadap lingkungan
Di dalam Surat Huud ayat 117, Allah SWT berfirman : ‘Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan”.
Fakta spritual yang terjadi selama ini membuktikan bahwa Surat Huud ayat 117 benar-benar terbukti. Perhatikan bencana alam banjir di Jakarta, tanah longsor yang di daerah-daerah di Jawa Tengah, intrusi air laut, tumpukan sampah dimana-mana, polusi udara yang tidak terkendali, serta bencana alam di daerah atau di negara lain membuktikan bahwa Allah akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, melainkan penduduknya terdiri dari orang-orang yang berbuat kebaikan terhadap lingkungan.Dalam suatu kisah diriwayatkan, ada seorang penghuni surga. Ketika ditanyakan kepadanya perbuatan apakah yang dilakukannya ketika di dunia hingga ia menjadi penghuni surga?. Dia menjawab bahwa selagi di dunia, ia pernah menanam sebuah pohon. Dengan sabar dan tulus, pohon itu dipeliharanya hingga tumbuh subur dan besar. Menyadari akan keadaannya yang miskin ia teringat bunyi sebuah hadits Nabi, “Tidak seorang muslim yang menanam tanaman atau menyemaikan tumbuh-tumbuhan, kemudian buah atau hasilnya dimakan manusia atau burung, melainkan yang demikian itu adalah shodaqoh baginya”. Didorong keinginan untuk bersedekah, maka ia biarkan orang berteduh di bawahnya, dan diikhlaskannya manusia dan burung memakan buahnya. Sampai ia meninggal pohon itu masih berdiri hingga setiap orang (musafir) yang lewat dapat istirahat berteduh dan memetik buahnya untuk dimakan atau sebagai bekal perjalanan. Burung pun ikut menikmatinya. Riwayat tersebut memberikan nilai yang sangat berharga sebagai bahan kontemplasi, artinya dengan adanya kepedulian terhadap lingkungan memberikan dua pahala sekaligus, yakni pahala surga dunia berupa hidup bahagia dan sejahtera dalam lingkungan yang bersih, indah dan hijau, dan pahala surga akhirat kelak di kemudian hari.Untuk mendapatkan dua pahala tersebut seorang manusia harus peduli terhadap lingkungan, apalagi manusia telah diangkat oleh Allah sebagai khalifah. Hal ini dapat dilihat pada surat Al-Baqarah ayat 30 berikut : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”. Manusia dituntut untuk memelihara, membimbing dan mengarahkan segala sesuatu agar mencapai maksud dan tujuan penciptaanNya. Karena itu, Nabi Muhammad SAW melarang memetik buah sebelum siap untuk dimanfaatkan, memetik kembang sebelum mekar, atau menyembelih binatang yang terlalu kecil. Nabi Muhammad SAW juga mengajarkan agar selalu bersikap bersahabat dengan segala sesuatu sekalipun tidak bernyawa. Al-Qu’an tidak mengenal istilah ”penaklukan alam” karena secara tegas Al-Qur’an menyatakan bahwa yang menaklukan alam untuk manusia adalah Allah. Secara tegas pula seorang muslim diajarkan untuk mengakui bahwa ia tidak mempunyai kekuasaan untuk menundukkan sesuatu kecuali dengan penundukan Allah (Shihab, 1996 : 492-493). Dari beberapa argument an dalil sahih diatas bahwa memelihara lingkungan adalah kewajiban bagi setiap individu manusia, hukumnya adalah fardhu Ain.
Secara ekologis pelestarian lingkungan merupakan keniscayaan ekologis yang tidak dapat ditawar oleh siapapun dan kapanpun. Oleh karena itu, pelestarian lingkungan tidak boleh tidak harus dilakukan oleh manusia. Sedangkan secara spiritual fiqhiyah Islamiyah Allah SWT memiliki kepedulian ekologis yang paripurna. Paling tidak dua pendekatan ini memberikan keseimbangan pola pikir bahwa lingkungan yang baik berupa sumber daya alam yang melimpah yang diberikan Allah SWT kepada manusia tidak akan lestari dan pulih (recovery) apabila tidak ada campur tangan manusia. Hal ini diingatkan oleh Allah dalam Surat Ar Ra’d ayat 11 : “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.
Umat Islam selalu berkeyakinan untuk tidak terperosok pada kesalahan yang kedua kalinya. Kejadian yang sangat dasyat yang kita alami akhir-akhir ini, sebut saja bencana alam Tsunami misalnya, pencemaran udara, pencemaran air dan tanah, serta sikap rakus pengusaha dengan menebang habis hutan tropis melalui aktifitas illegal logging, serta sederet bentuk kerusakan lingkungan hidup lainnya, haruslah menjadi pelajaran yang sangat berharga. Hal ini ditegaskan oleh dalam firmanNya di dalam surat Al-Hasyr ayat 2 : ”Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan”
Bersikaplah menjadi pelaku aktif dalam mengolah lingkungan serta melestarikannya, tidak berbuat kerusakan terhadap lingkungan, dan selalu membiasakan diri bersikap ramah terhadap lingkungan.
LINGKUNGAN DALAM PERSFEKTIF ISLAM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment