Isu Lingkungan dan Ideologi Islam


Kontribusi dari Misri Gozan *)

Ke mana akan terus bergulir isu lingkungan hidup? Di sebuah pamflet yang beredar di kota Karlsruhe, di selatan Jerman, terpampang tulisan yang artinya: ''Manusia berakal tak makan makhluk yang bermata''. Sekadar vegetarianisme? Atau sudah menyentuh sumsum ideologi?

Tidak bisa tidak, isu lingkungan hidup sudah menyentuh batas-batas kurva dan bangun ideologi. Isu ini sudah mempertanyakan, benarkah cara hidup saya? Banyak manusia bertanya dengan nada ragu kepada dirinya sendiri, apakah manusia berhak ''membunuh'' hewan tertentu untuk alasan kebutuhan pakaian dan pangan? Suatu pertanyaan yang seolah bernada arogan dan akan ditanggapi sinis bila dilontarkan di belahan dunia lain yang masih berjibaku menahan kematian karena kelaparan.


Tuntutan para pemerhati lingkungan hidup telah beranjak jauh dari sekadar menikmati alam yang nyaman. Kini tibalah manusia pada pertanyaan yang sangat mendasar dari perjalanan isu lingkungan ini. Sampai kapankah bumi ini terus-menerus mencukupi kebutuhan manusia akan bahan-bahan alami? Sampai di manakah sebenarnya kesanggupan tanah, air dan udara dalam memikul beban-beban pencemaran?


Isu pemanasan suhu permukaan bumi, perubahan klima dalam kaitannya dengan gejala-gejala alami yang tidak menyenangkan (datang dan perginya musim yang tak menentu, kegagalan panen, rusaknya ekosistem, kehilangan keanekaragaman hayati, dll). Jelas bencana ala ini tidak sepenuhnya ''man made'', namun faktor anthropogenic demikian besar di dalamnya, sehingga mengharuskan manusia yang arif untuk berpikir dan berupaya keras memperbaiki segala tindak-tanduknya di muka bumi.


Kita bisa saja tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Namun pasti, bahwa penyadaran akan betapa semakin kompleksnya isu lingkungan hidup melibatkan banyak disiplin ilmu, bahkan sekali lagi, menyentuh ruang-ruang pembicaraan ideologi.


Karenanya, penulis yakin bahwa Islam sebagai sebuah ideologi yang bukan ciptaan manusia mampu menjawabnya. Sebagai ideologi yang disampaikan lewat wahyu dan satu-satunya yang diridhai oleh Allah Sang Maha Pencipta (QS 3: 18), tentu memiliki jawaban mendasar dan bahkan dengan kaca matanya sendiri memiliki rancangan unik untuk alam raya ini.


Alam yang Ditundukkan

Lingkungan adalah bagian hidup manusia yang berada di luar ''battery limit''-nya. Tak ayal lagi, semesta pembicaraan isu lingkungan mengharuskan kita, umat Islam, kembali lagi merujuk pada petunjuk hidupnya. Al-Islam. Islam adalah jalan hidup yang sempurna. Alquran yang mulia mengatakan bahwa Allah SWT adalah Pencipta Alam (Al-Khaaliq) yang sekaligus Pemelihara Alam Semesta (Rabbul 'aalamiin) dan yang juga memiliki sifat-sifat Maha Adil dan Bijaksana (Al-Hakiim).

a. Khalifatullah yang berpikir

Banyak penafsiran yang berkembang terutama dengan berpijak pada ayat 30 surat al-Baqarah ini (''Inni jaailun fil ardhi khaliifah''). Penulis tidak bermaksud memperluas khasanah penafsiran ayat tersebut, karena kapabilitas kami masih jauh dari golongan para mufassir (yang ahli menafsirkan). Namun kiranya unsur ''tanggung jawab'' dalam kata ''khalifah'' cukup tersirat. Manusia bertanggung jawab karena dapat berbuat sesuatu dengan bebas pilih (''fa alhaamaha fujuuroha wa taqwaaha''). Manusia diilhami dengan keburukan dan sekaligus juga tabiat ketakwaan.

Manusia juga dibekali dengan kemampuan berpikir yang berulang kali Allah menggugahnya (''afala ta'qiluun, afala tatafakkarun'' dsb). Apa pun pilihannya, kerusakan atau perbaikan, sebagian alam ini ditundukkan untuk manusia (QS 36: 72), bahkan hal-hal yang belum pernah dibayangkan manusia sebelumnya (QS 43: 12-13).


Walaupun demikian, Allah mengingatkan akan tugas kita sebagai pemakmur bumi ini (QS 11: 61) yang menegaskan arti penting kehadiran manusia di bumi beserta ''perlengkapan tugas'' yang sudah disiapkan Allah SWT dalam bentuk ''paket nalar dan nurani''.


b. Adanya ''hukum-hukum'' yang tetap berlaku di alam ini (Sunatullah)

Mahasuci Allah yang telah menciptakan alam ini tidak dengan sia-sia (QS 3: 191). Setiap gerakan awan dan turunnya hujan, lintasan elektron di orbitnya, bintang dan planet di tatarannya, pasti mengikuti pola aturan tertentu. Dengan mempelajari aturan dan pola ini, manusia bisa memperkirakan gerakannya, mengambil faedah darinya, serta menggunakannya untuk menembus langit (QS 55: 33).

Allah SWT bukan hanya menunjukkan bahwa Dia Mahatahu atas segala ciptaan-Nya, namun menegaskan bahwa ada ketentuan-ketentuan ilmu yang pasti (QS 30: 30), dengan demikian mendorong manusia untuk mengoptimalkan fungsi akalnya yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.


Hukum-hukum ''alam'' ini tetap berlaku sepanjang masa pada terpisahnya air tawar dan air asin. Dia Yang Mahalembut menjelaskan adanya kaidah astronomi dalam distribusi benda-benda langit (QS 6: 97 dan 16: 16). Seringkali, beberapa ayat, khususnya tentang geologi (QS 21: 31; 16: 15) dan peredaran waktu serta rotasi bumi (QS 25: 45-46; 22: 61), seolah menantang manusia berpikir akan ''rahasia'' penciptaan alam raya ini.


Permainan matematika serta ilmu fisika, kimia, biologi, dan perpaduan dasar-dasar ilmu tersebut terlihat anggun dan menakjubkan, tak bercacat dan terbentangkan sampai pada setiap unit terkecil ciptaan-Nya. Sudah berbilang para ilmuwan yang menemui pintu hidayahnya setelah jatuh hati pada kedalaman ajaran Islam (baca: wahyu) yang dibawa Muhammad SAW yang ummi (buta huruf) lebih 15 abad yang silam.


Dua bangun logika ini, tanggung jawab sebagai khalifah dan keteraturan alam dengan sunatullahnya, menempatkan manusia pada satu posisi yang teramat penting. Dengan begitu, manusia, sebagai hanya salah satu spesies dari bermiliar-miliar spesies ciptaan (al-makhluq) Allah SWT (al-Khaaliq), terlalu penting untuk dibiarkan semena-mena berjalan dan beraktivitas, dengan segala pengaruh positif dan dampak negatifnya, di permukaan bumi.


Terlalu naif, jika manusia terlunta-lunta merenungi nasibnya sambil membayangkan kesendiriannya di tengah jagad raya yang seolah tak berbatas ini, jika makhluk yang dibebani tanggung jawab besar ini tidak dibekali dengan petunjuk dari langit (hidayah) oleh sang Inovatornya (Allah SWT).


Dua bangun logika di atas juga mengarahkan pemikiran kita, bahwa jika manusia menerapkan hukum yang diajarkan oleh Allah, yaitu ayat-ayat qouliyah (Alquran) dan kauniyah (hukum-hukum alam) dengan benar, manusia pasti akan sampai pada satu keteraturan dan keserasian dengan peredaran alam semesta ini. Harmonisasi.


Sebaliknya, jika perbuatannya mengikuti segala hawa nafsunya belaka, maka kehancuranlah yang terjadi (QS 23: 71): ''Seandainya kebenaran itu mengikuti hawa nafsumu, akan rusak binasalah alam ini''. Kesalahan-kesalahan yang barangkali ''manusiawi'' sekalipun, bisa saja memorak-porandakan tatanan alam (QS 30: 41).


Berulang kali ayat-ayat Alquran mengingatkan manusia untuk berlaku takwa. Sikap yang, menurut ibnu Mas'ud (dalam pengantar tafsir Ibnu Katsir), dianalogikan seperti rasa takut melewati jalan berduri, berhati-hati, penuh perhitungan.


Titah Allah SWT kepada manusia Muslim untuk berbuat secara bertanggung jawab dan harus dengan ''ilmu'' (QS 17: 36) juga dikaitkan dengan dimensi ''masa depannya'' (QS 59: 18). Dimensi masa depan ini sering ditafsirkan dengan hari di mana manusia dimintai segala pertanggung-jawabannya (yaumul akhir, yaumul ba'ts).


Walaupun demikian, Rasulullah SAW sang suri tauladan, dengan sangat arif dan manis memadukan dimensi akhirat dan ''masa depan bumi'' dalam satu nilai ''ketakwaan''. Beliau mengingatkan kita untuk tidak meninggalkan generasi yang ''lemah'' di kemudian hari. Beliau tetap menanam pohon walaupun seandainya kita tahu esok hari akan kiamat (al hadits). Bahkan di dalam kondisi dan situasi kemanusiaan yang paling ''parah'' sekalipun, yaitu peperangan, manusia mukmin diminta dengan tegas untuk tidak menghancurkan pepohonan (simbol ''bumi''), di samping tidak membunuh anak-anak dan wanita (isyarat ''masa depan'') dan rumah ibadah (perlambang kedekatan diri dan jalan menuju Tuhan).


Barangkali, terminologi ''Pembangunan Berkelanjutan'' (PB) atau Sustainable Development yang dikumandangkan oleh Komisi Bruntland pada tahun 1987 menemui relevansinya di dalam ideologi Islam. Direktur Jenderal WHO ini memang banyak memfokuskan diri pada kestabilan populasi. Namun, dalam perkembangannya, ide PB ini mencakup berbagai manajemen sumber daya alam. Beliau menyatakan: ''... a development that meets the need of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs.''


Ayat-ayat di atas telah panjang lebar menerangkan keharusan kita bersikap arif dan tidak merusak alam karena semua dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Ide untuk membangun, dalam artian juga memanfaatkan sumber-sumber daya alami, dengan tetap mengompromikan kepentingan masa depan kiranya tidak terlalu sukar dipahami oleh manusia yang beriman.


Ajaran akhlak Islami yang disarikan dari keteladanan Rasulullah SAW tidak memperbolehkan sikap serakah (tasrif, QS 7: 31), sikap menyia-nyiakan (tabdziir, QS 17: 27). Akhlak serta asas keadilan dan juga menempatkan sesuatu pada timbangannya (mizan) dikupas tuntas di dalam beberapa ayat Alquran dan juga hadits Nabi.


Kisah para nabi (terutama nabi Sulaiman dan Yusuf as) selayaknya mengilhami benak para penguasa tentang bagaimana mengelola suatu wilayah. Keberhasilan serta kegagalan mengelola suatu sumber daya alam, akan sangat menentukan dalam perjalanan suatu masyarakat, bahkan dunia.


Isu lingkungan hidup tidak berhenti pada kenyamanan tempat tinggal dan keindahan lingkungan belaka, namun sudah mempertanyakan makna serta hakikat hidup kita di alam semesta। Sebagai din yang lengkap mengatur kehidupan manusia dan muamalah sesama makhluk, maka Islam membingkai isu lingkungan ini dengan dasar ideologis yang kuat. Alam dipandang sebagai tempat yang perlu dimakmurkan dan dipelihara oleh khalifatullah fil ardh, yaitu manusia. Manusia memiliki kebebasan memilih perbuatan baik dan buruk. Tentu dengan konsekuensinya, di dunia maupun di akhirat nanti. Bagi Muslim paripurna, menjaga keberlangsungan sumber daya alam dengan cara yang islami adalah suatu keharusan dan bernilai ibadah.


Misri Gozan ;
Dosen Fakultas Teknik UI, Fellow pada LEAD Internasional, Advisory Board ISTECS cabang Eropa


No comments:

Post a Comment