Islam Dan Lingkungan Hidup




A. Pengantar
Dalam menghadapi masalah kerusakan lingkungan hidup, tindakan saling menunjuk dan menyalahkan pihak tertentu yang dianggap harus bertanggung jawab bukanlah suatu sikap yang bijaksana. Hal lain yang lebih penting dilakukan adalah mengusahakan bersama langkah-langkah tertentu yang dapat dijadikan jalan keluar dari keruwetan krisis lingkungan hidup yang sudah, sedang dan mungkin akan terjadi.



Paparan di bawah ini adalah salah satu usaha pendekatan positif untuk melihat masalah lingkungan hidup sebagai suatu yang memang harus ditanggung bersama oleh penduduk bumi. Maka, dalam tulisan ini pertama-tama akan diperlihatkan bagaimana lemahnya kesadaran terhadap lingkungan hidup bisa menjadi salah satu alasan kurangnya perhatian orang terhadap lingkungan hidup. Kedua, dikaitkan dengan bidang agama, akan coba ditunjukkan bagaimana agama sering disalah mengerti sebagai lembaga yang menyebabkan dan menjadi latarbelakang kerusakan lingkungan hidup. Ketiga, secara khusus akan diperlihatkan bagaimana Islam mencoba menjawab pertanyaan apakah dirinya mungkin menjadi agama yang dapat memotivasi para penganutnya khususnya melalui bidang teologi dan fikih?


B. Masalah Kerusakan Lingkungan Hidup

Masalah kerusakan lingkungan hidup dan akibat-akibat yang ditumbulkan bukanlah suatu hal yang asing lagi di telinga setiap orang. Degan mudah dan sistematis setiap orang dapat menunjuk dan mengetahui apa saja jenis kerusakan lingkungan hidup itu dan apa saja akibat yang ditimbulkanya. Misalnya; dengan cepat dan sistematis mereka dapat mengerti bahwa eksploitasi alam dan penebangan hutan yang terlalu berlebihan dapat menyebabkan bencana banjir, tanah longsor dan kelangkaan air bersih; membuang limbah industri ke sungai dapat menyebabkan kematian ikan dan merusak habitatnya; penggunaan dinamit untuk menangkap ikan dapat merusak terumbu karang dan biota laut, dan masih banyak lagi daftar sebab akibat yang biasa terjadi dalam lingkungan hidup kita. Yang menjadi masalah adalah bahwa pengetahuan yang sama atas pengenalan kerusakan lingkungan hidup dan akibat yang ditimbulkan tersebut belum terjadi dalam hal pemeliharaan dan perawatan lingkungan hidup—belum ada kesadaran yang kuat. Maka sekarang yang menjadi pertanyaan adalah apa atau siapakah dapat mejadi menjadi motivator agar rasa tanggung jawab kesadaran orang untuk merawat dan memelihara lingkungan hidup tumbuh menjadi kuat?


C. Peran Agama Sebagai Motivator

Seringkali muncul pendapat bahwa agama adalah sebuah lembaga yang kurang memberikan motivasi pada para pengikutnya agar peduli terhadap lingkungan hidup. Bahkan tak jarang ada anggapan bahwa ajaran-ajaran tertentu suatu agama justru mendorong dan melatarbelakangi terjadinya kerusakan lingkungan hidup, misalnya saja adalah ajaran-ajaran tertentu yang dimiliki oleh agama Kristen dan Islam. Ajaran Kitab Suci dan al-Qur’an, khususnya tentang kisah penciptaan dan bagimana Allah menghendaki agar manusia menguasai atau memanfaatkan ciptaan-Nya yang lain, seringkali dijadikan alasan mendasar yang melatarbelakang kerusakan lingkungan hidup[1].


Pendapat tersebut di atas rasanya tidak lagi relevan sebagai suatu alasan dasar bagi penyebab terjadinya kerusakan lingkungan hidup. Yang sering terjadi sebenarnya adalah kesalahan sebagian orang ketika membaca dan menghayati kisah penciptaan tersebut. Secara logis, Allah kiranya tidak akan menghendaki bahwa hasil karya ciptaan-Nya dirusak dan dieksploitasi sedemikian rupa (oleh manusia yang juga adalah sebagai salah satu ciptaan Allah) tanpa disertai tanggung jawab untuk memilihara. Tentunya, Allah menghendaki agar manusia sebagai ciptaan yang paling sempurna (dalam agama Kristen sering dikatakan secitra dan serupa dengan Allah) turut serta merawat dan memelihara ciptaan Allah sebagai miliknya sendiri. Maka, tidak masuk akallah jika manusia hanya berkehendak untuk menguasai dan mengekploitasi alam dan lingkungan hidup di sekitarnya.


Pendapat yang mengatakan bahwa ajaran keagamaan menjadi alasan dasar bagi terjadinya kerusakan lingkungan hidup semakin tidak relevan jika dilihat dari konteks perkembangan sejarah manusia. Maksudnya, tanda-tanda kerusakan lingkungan hidup sebenarnya terjadi seiring atau sejalan dengan perkembangan jaman modern hingga saat ini. Jaman modern adalah periode waktu yang muncul kemudian setelah Kristianitas dan Islam ada. Jaman modern adalah suatu jaman yang ditandai oleh penemuan alat-alat teknologi yang digunakan untuk menguasai dan menaklukkan alam, perkembangan industrialisasi dan peningkatan standar hidup yang bermuara pada tingkat konsumsi sumberdaya alam yang lebih tinggi[2]. Jadi, bukanlah suatu alasan yang tepatlah jika mengatakan bahwa kerusakan lingkungan hidup terjadi semata-mata karena didorong oleh faktor ajaran-ajaran keagamaan. Sebaliknya, jika dilihat dengan cara yang positif dan benar, agama justru memiliki peran yang cukup strategis untuk memotivasi para penganutnya agar peduli terhadap lingkungan hidup. Dengan kata lain, agama memiliki peluang yang sangat strategis untuk menjadi motivator kepedulian terhadap lingkungan hidup. Pertanyaanya kemudian adalah, bagimana hal itu diwujudkan?


D. Islam Sebagai Motivator

Agama Islam adalah suatu agama yang dipeluk oleh sejumlah besar penduduk bumi. Dapat dibayangkan betapa besar dampak kebaikanya terhadap lingkungan hidup jika seluruh penganut Islam memiliki kesadaran yang sama untuk memberikan perhatian yang serius terhadap lingkungan hidup. Maka dari itu, kiranya saat ini para tokoh Islam sangat perlu menggali lebih jauh unsur-unsur keagamaan mereka, entah itu unsur teologis, fikih atau unsur-unsur ajaran yang lain agar dapat membantu atau memotivasi para penganut yang lain untuk semakin mencitai dan bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup.


1. Pendekatan Teologis

Disadari bahwa al-Qur’an sedikit sekali berbicara tentang kejadian alam (kosmogoni)[3] dan lebih spesifik lagi lingkungan hidup. Namun, bukan berarti bahwa al-Qur’an tidak memberikan perhatian yang serius terhadap lingkungan hidup. Mungkin dengan alasan bahwa pada saat al-Qur’an diturunkan masalah lingkungan hidup belumlah menjadi masalah yang mendesak, masalah minimnya al-Qura’an dalam membahas masalah alam dapat dijawab. Sekarang, kiranya yang penting dibicarakan bukanlah mempermasalah keminiman al-Qur’an yang membicarakan tetang alam tetapi justru sebaliknya bagaimana menggunakan sedikit teks atau ajaran-ajaran di dalam al-Qur’an yang membicarakan tentang alam tersebut dan mengembangkan dasar-dasar teologis atau pun mungkin juga fikih dengan tujuan menyediakan perspektif baru bagi umat Islam agar semakin peduli terhadap alam dan lingkungan hidup.


Dalam bagian tertentu al-Qur’an dikatakan bahwa Allah adalah pemilik yang mutlak dari alam semesta dan penguasa alam semesta yang tak dapat disangkal disamping pemeliharanya yang maha pengasih. Karena kekuasaan-Nya yang mutlak maka jika Allah hendak menciptkan langit dan bumi, maka Dia berkata kepada keduanya: “Jadilah kalian, baik dengan suka maupun dengan terpaksa!”(41: 11)[4]. Secara implisit, teks yang baru saja disebutkan di atas dalam arti tertentu dapat diangkat menjadi suatu dasar teologi bagaimana Allah memperlakukan alam. Dalam teks tersebut dikatakan bahwa “Allah adalah pemilik dari alam semesta dan penguasa alam semesta yang tak dapat disangkal disamping pemeliharanya yang maha pengasih”. Melalaui teks itu ditunjukkan bahwa Allah sendiri sebagai pencipta alam semesta begitu mengasihi apa yang Ia ciptakan. Jika makna ungkapan itu ditarik agak luas, maka sangat mungkin sekali untuk dikatakan bahwa semestinya manusia dan alam, sebagai sama-sama bagian dari alam semesta, saling kasih mengasihi seperti Allah sendiri yang juga mengasihi mereka sebagai ciptaan-Nya.


Selanjutnya, di dalam pemahaman mengenai konsep-konsep kosmologis al-Qur’an tertentu, ciptaan Allah memiliki kedudukan yang cukup tinggi. Ciptaan Allah di seluruh jagad raya ini secara jelas disebutkan sebagai “ayat-ayat” Allah, misalnya dalam Surah’Ali Imran 190 disebutkan bahwa; Sesungguhnya dalam ciptaan langit dan bumi, serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat ayat-ayat Allah bagi orang-orang yang berakal (dapat menalar)[5]. Penghargaan yang cukup tinggi terhadap ciptaan Allah atau unsur-unsur alam terdapat juga dalam pandangan berberapa tokoh Islam, misalnya adalah al-Jahiz ketika membahas persoalan penafsiran mataforis fakta-fakta tekstual al-Qur’an dalam bukunya al-Hayawan. Di sana dikatakan bahwa ada orang-orang yang menduga bahwa batu merupakan makhluk berakal, berdasarkan Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah 74”…dan di antaranya (di antara batu) sungguh ada yang meluncur karena takut kepada Allah…,” sebagaimana ada yang menduga bahwa ada nabi-nabi untuk lebah-lebah berdasarkan QS. al-Nahl: 68, “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah”.


Beberapa petikan ayat-ayat al-Qur’an yang dikemukakan di atas kiranya semakin memperkuat bukti bahwa ada cukup banyak ayat-ayat al-Qur’an yang dapat diangkat dan dijadikan semacam pedoman teologis guna membangun atau memperkokoh pendapat bahwa al-Qur’an secara langsung memberikan tempat yang penting terhadap ciptaan Allah dan unsur-unsur alam. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan pendapat-pendapat di atas rasanya tidak ada cukup alasan yang kuat bagi manusia untuk seenaknya melakukan eksploitasi terhadap alam dan ciptaan Allah yang lain. Sebaliknya, diharapkan akan muncul kesadaran dan kehendak mereka untuk menghargai alam dan ciptaan lain sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan cukup tinggi bahkan dekat dengan Allah.

Pendekatan Teologis

Dalam pendekatan teologis di atas, alam dan unsur-unsur ciptaan lain coba dipahami sebagai ciptaan Allah yang memiliki kedekatan sedemikian rupa dengan pencipta-Nya. Pemahaman tersebut sudah sangat bagus, akan tetapi rasanya masih kurang memadai. Artinya, rasanya perlu ada pendekatan lain yang lebih kuat untuk mengangkat ke permukaan persoalan lingkungan hidup serta bagaimana cara menanganinya. Pendekatan lain yang dimaksud adalah pendekatan fikih.

Mengapa pendekatan fikih perlu dalam membahas masalah lingkungan hidup, pertama-tama karena fikih yang berarti juga sebagai sistem pemikiran hukum Islam[6] dapat memberikan kepastian bagi mereka yang meyakininya. Dengan adanya kepastian tersebut orang atau umat Islam menjadi tidak ragu-ragu lagi bahwa masalah lingkungan hidup adalah masalah yang memang penting untuk diperhatikan. Selanjutnya, kepastian tersebut dapat diharapkan menjadi suatu sumber motivasi yang sangat kuat bagi umat Islam khususnya untuk semakin peduli terhdap lingkungan hidup.


Dalam konteks hukum Islam, pelestarian lingkungan hidup, dan tanggung jawab manusia terhadap alam banyak dibicarakan. Hanya saja, dalam pelbagai tafsir dan fikih, isu-isu lingkungan hidup hanya disinggung dalam konteks generik dan belum spesifik sebagai suatu ketentuan hukum yang memiliki kekuatan. Fikih-fikih klasik telah menyebut isu-isu tersebut dalam beberapa bab yang terpisah dan tidak menjadikannya buku khusus. Ini bisa dimengerti karena konteks perkembangan struktur masyarakat waktu itu belum menghadapi krisis lingkungan sebagaimana terjadi sekarang ini


Melihat situasi modern saat ini yang dengan jelas-jelas ditandai oleh kerusakan lingkungan hidup yang begitu dahsyat, rasanya fikih tentang lingkungan hidup perlu dikembangkan terus-menerus agar dapat menjawab kebutuhan jaman yang semakin menekankan pentingnya perlindungan terhadap lingkungan hidup. Dengan kata lain, pengembangan fikih lingkungan hidup kini bisa menjadi suatu pilihan penting di tengah krisis-krisis ekologis yang secara sistematis disebabkan oleh keserakahan manusia dan kecerobohan penggunaan teknologi.


Islam sebagai agama yang secara organik memperhatikan manusia dan lingkungannya memiliki potensi amat besar untuk melindungi bumi. Dalam al-Quran sendiri kata 'bumi' (ardh) disebut sebanyak 485 kali dengan arti dan konteks yang beragam. Di bagian lain komponen-komponen lain di bumi dan lingkungan hidup juga banyak disebutkan dalam alQur’an dan hadis. Sebagai contoh, manusia sebagai pusat lingkungan yang disebut sebagai khalifah terdapat dalam QS 2:30; segala yang di langit dan di bumi ditundukkan oleh Allah kepada manusia QS 45:13; dan sebagainya. Manusia, bumi, dan makhluk ciptaan lainnya di alam semesta adalah sebuah ekosistem yang kesinambungannya amat bergantung pada moralitas manusia sebagai khalifah di bumi[7].


Dalam kerangka pemikiran tersebut di atas, maka melindungi dan merawat lingkungan hidup menjadi semakin jelas sebagai suatu kewajiban setiap Muslim. Oleh karena itu, rasanya sangat perlu sekali gagasa-gasan yang telah terungkap di atas diintegrasikan dan disosialisaikan kepada segenap umat Muslim dan selanjutnya pada masyarakat luas dengan cara yang baru. Dalam hal ini, di Indonesia khususnya, para ulama memiliki peran penting untuk mewujudkan gagasan-gagasa yang telah dikemukakan di atas. Sebagai pribadi yang diberi label penerus para Nabi, ulama mempunyai kewajiban untuk memberikan sumbangsih riil bagi pembumian konsep fikih lingkungan hidup. Ulama harus meyakinkan publik bahwa tanggungjawab atas kerusakan lingkungan hidup menjadi “beban” setiap Muslim, bukan hanya institusi atau lembaga. Terlebih dalam konteks keindonesiaan, pembumian konsep fikih lingkungan hidup terasa menjadi demikian mendesak mengingat maraknya bencana alam yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan hidup[8].


Pandangan teologis dan fikih tentang lingkungan hidup yang telah diurakan di atas diyakini akan sangat bermanfaat untuk menanggapi krisis lingkungan hidup dan menyediakan landasan dasar motivasi bagi umat Muslim yang hendak mewujudkan perhatian dan kepeduliannya terhadap lingkungan hidup. Dalam konteks negara Indonesia, yang 80 % penduduknya adalah umat Muslim, tanggungjawab, kepedulian dan perhatian terhadap lingkungan hidup tersebut pastilah akan memiliki dampak yang luar biasa besarnya bagi terwujudnya keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.


E. Penutup

Krisis lingkungan hidup bukanlah suatu bentuk krisis yang tidak dapat diatasi oleh manusia. Sejauh manusia tahu dan menyadari bahwa kerusakan lingkungan hidup itu adalah akibat dari tindakan-tindakan mereka sendiri, tidak ada hal mustahil yang tidak dapat mereka tanggung. Yang sekarang menjadi persoalan adalah bahwa kesadaran untuk merawat dan memperhatikan lingkungan hidup belum sejalan dengan kerusakan yang terjadi. Terkesan bahwa masih ada banyak orang yang merasa enggan untuk memulai atau meneruskan opsi mereka terhadap lingkungan hidup. Dalam keadaan seperti itu, peran agama menjadi sangat penting. Pertama-tama karena sebagian besar penduduk bumi adalah orang-orang yang beragama. Kedua, karena melalui agama dapat dilahirkan banyak nilai-nilai positif terhadap alam dan lingkungan hidup yang diharapkan dapat membantu kesadaran banyak orang (paling tidak bagi mereka yang beragama) atas krisis yang sekarang ada. Dengan kata lain, agama dapat menjadi motivator atau agama dapat menjadi media paling strategis guna membangun semangat untuk peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup. Dengan cara itu pula, agama bisa mengabaikan atau menganggap tidak penting tuduhan yang sering ditujukan kepadanya sebagai “lembaga iman” yang menjadi penyebab dan latarbelakang kerusakan lingkungan hidup.


Agama Islam adalah salah satu agama yang memiliki penganut cukup besar di dunia. Dalam arti terntu Islam dapat menjadi agama yang berperan penting dalam usaha menyelamatkan bumi dari krisis yang dihadapinya. Paling tidak, ada dua cara yang dapat dilakukan Islam sebagai wujud tanggapan atas masalah kerusakan lingkungan hidup. Yang pertama adalah dengan cara menyerukan lebih lantang dimensi teologis tentang alam serta relasinya dengan Allah sebagai sumber iman Islam. Kedua, dengan melakukan pengembangan fikih atas lingkungan hidup yang lebih memadai dan lebih luas. Diharapkan, melalui dua cara tersebut akan ada perubahan yang signifikan bagi penganut Islam yang nantinya juga berarti bagi kebaikan ekologi bumi.




No comments:

Post a Comment