ISLAM DAN DEMOKRASI

Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia), dst.

Dalam tradisi Barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa rakyat seharusnya menjadi “pemerintah” bagi dirinya sendiri, dan wakil rakyat seharusnya menjadi pengendali yang bertanggung jawab atas tugasnya. Karena alasan inilah maka lembaga legislatif di dunia Barat menganggap sebagai pioner dan garda depan demokrasi. Lembaga legislatif benar-benar menjadi wakil rakyat dan berfungsi sebagai agen rakyat yang aspiratif dan distributif. Keberadaan wakil rakyat didasarkan atas pertimbangan, bahwa tidak mungkin semua rakyat dalam suatu negara mengambil keputusan karena jumlahnya yang terlalu besar. Oleh sebab itu kemudian dibentuk dewan perwakilan. Di sini lantas prinsip amanah dan tanggung jawab (credible and accountable) menjadi keharusan bagi setiap anggota dewan. Sehingga jika ada tindakan pemerintah yang cenderung mengabaikan hak-hak sipil dan hak politik rakyat, maka harus segera ditegur. Itulah perlunya perwakilan rakyat yang kuat untuk menjadi penyeimbang dan kontrol pemerintah.

Secara normatif, Islam menekankan pentingnya ditegakkan amar ma’ruf nahi munkar bagi semua orang, baik sebagai individu, anggota masyarakat maupun sebagai pemimpin negara. Doktrin tersebut merupakan prinsip Islam yang harus ditegakkan dimana pun dan kapan saja, supaya terwujud masyarakat yang aman dan sejahtera.

Nah, bagaimanakah konsep demokrasi Islam itu sesungguhnya? Jika secara normatif Islam memiliki konsep demokrasi yang tercermin dalam prinsip dan idiom-idiom demokrasi, bagaimana realitas empirik politik Islam di negara-negara Muslim? Bagaimana dengan pengalaman demokrasi di negara-negara Islam? Benarkah Samuel Huntington dan F. Fukuyama, yang menyatakan bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak compatible dengan demokrasi? Tulisan ini ingin mengkaji demokrasi dalam perspektif Islam dari aspek elemen-elemen pokok yang dikategorikan sebagai bagian terpenting dalam penegakan demokrasi, dan hubungannya dengan realitas demokrasi dalam negara yang berbasis mayoritas Islam.

Demokrasi dalam Islam

“ … Allah telah memilih kamu, dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama (Islam) suatu kesempitan. Ikutlah agama orang tuamu Ibrahim. Allah telah menamai kamu sekalian sebagai Muslim dari dahulu, dan juga dalam al Qur’an ini supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu menjadi saksi atas semua manusia…” Qur’an surah al Haj ayat 78

Berbicara tentang demokrasi, ingatan kita diajak untuk menerawang jauh kebelakang, yaitu pada tahun 622 M. Piagam Madinah atau ‘Mitsaqal Madinah’ yang lembaran tertulisnya (shahifat) berfungsi sebagai dasar hukum dan konstitusi dalam mempersatukan penduduk Madinah dari semua golongan (suku, agama, dan ras). Inilah sebuah piagam yang merupakan cikal bakal sebuah negara demokrasi moderen. Mitsaqal Madinah yang lembarannya terinspirasi dari wahyu ilahi dan berisikan empat belas prinsip yang mengatur jalannya roda kepemimpinan Nabi Muhammada SAW. Walaupun pada saat itu belum ada sebutan negara kepada Islam yang berada di kota Madinah secara dejure, namun secara defacto, kaum muslimin dibawah komando Nabi Muhammad SAW telah mempraktekan kehidupannya sebagai sebuah negara yang demokratis.

Dari ke empat belas prinsip itu, prinsip pertama adalah ‘prinsip keumatan’, dimana dalam lembaran itu ditegaskan bahwa pada kenyataannya karakter manusia sebagai makhluk sosial , membutuhkan kerja sama antara satu dengan yang lainnya, dan hidup berkelompok. Setiap kelompok dapat dibedakan dari segi keyakinan dan agama yang mereka anut, dari segi etnis-budaya, prinsip politik, kepentingan ekonomi, pola pikir dan pandangan hidup. Hal-hal diatas sesuai dengan tekstual al Qur’an yang menyatakan memang manusia hidup berkelompok agar mereka saling kenal mengenali, ‘ waja’alnakum syu’uban waqabaila lita’arafu’. Dan al Qur’an juga menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia itu lemah, ‘ wakhuliqal insanu dha’ifa’ . Karena itu mereka harus membentuk kerja sama dalam kebaikan dan taqwa (wata’a wanu alal birri wattaqwa’), sebagai wujud menjaga kelestarian hubungan antar manusia (hablum minannas).

Prinsip kedua dalam piagam itu adalah ‘Persatuan dan Persaudaraan’. Pembentukan umat bagi kaum muslimin disatu pihak dan bagi orang-orang muslim bersama kaum Yahudi, Nashrani di pihak lain menunjukkan betapa pentingnya prinsip tersebut. Artinya, di dalam oraganisasi umat terkandung makna persatuan persaudaraan, baik persatuan dan persaudaraan seagama, maupun persatuan dan persaudaraan kemanusiaan antar pemeluk agama.

Karena suatu umat, atau bangsa dan negara tidak akan pernah berdiri tegak bila di dalamnya tidak terdapat persatuan dan persaudaraan masyarakatnya. Persatuan dan persaudaraan tidak akan terwujud tanpa adanya saling bekerja sama dan kasih sayang dan untuk kebaikan. Hal itu ditegaskan nabi dalah shahifatnya pada pada pasal 24 dan 38 ‘ wa annal yahuda yunfiquna ma’al mukminana ma damu. Dan wa anna bainahumun nashra ‘ala man haraba ahla hadzihish shahifati wa anna bainahumun nashha wannashihata wal birradunal itsmi…’ orangorang Yahudi bersama-sama dengan orang-orang mukmin saling membantu dalam menghadapi orang yang menyerang terhadap pemilik Piagam, saling menasehati dan memberi saran, dan berbuat baik, bukan berbuat dosa.

Lebih jauh dapat dijelaskan, bahwa di dalam ketetapan yang menghendaki terwujudnya persatuan dan persaudaraan di kalangan penduduk Madinah, juga menggambarkan bentuk hubungan antara golongan Islam dan Non Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW tidak membentuk persatuan dan persaudaraan yang eksklusif bagi umat Islam saja.

Oleh karena itu, prinsip persatuan dan persaudaraan yang diletakkan Nabi SAW dapat dikatakan pertama dalam sejarah kemanusian. Bahkan menurut Robert N Bellah, seorang pakar sosiologi agama-agama, prinsip-prinsip yang diletakkan Nabi SAW sangat moderen pada zamannya. Di era moderen ini, setiap pemerintahan suatu negara memandang prinsip persatuan dan persaudaraan merupakan hal yang harus dibina dan ditegakkan sebagai prasyarat bagi pelaksanaan pembangunan di segala bidang.

Prinsip ketiga dalam Piagam Madinah adalah ‘Prinsip Persamaan’. Sebagaimana diketahui, bahwa masyarakat Arab adalah masyarakat yang cenderung kepada kefanatikan terhadap suku, dan darah turunan (nasab), sehingga mereka terjerumus ke dalam pertentangan, kekacauan yang merusak tatanan sosial, politik dan ekonomi. Mereka tidak mengenal adanya prinsip persamaan antara sesama manusia.

Satu kabilah dengan kabilah lainnya tidak saling mendukung dan melindungi. Bahkan satu kabilah adalah musuh bagi kabilah lainnya yang harus dilenyapkan. Karena setiap kabilah menganggap dirinya lebih unggul dari kabilah lainnya, sehingga mereka sibuk dengan urusannya sendiri, tanpa ada rasa kepedulian sosial terhadap kabilah yang lain.

Itulah yang disadari oleh Nabi Muhammad SAW, sehingga dalam piagamnya menetapkan seluruh penduduk Madinah memperoleh status yang sama atau persamaan dalam kehidupan sosial. Ketetapan ini berkaitan dengan kemashlahatan umum yang menjamin hak-hak istimewa mereka sebagaimana hak dan kewajiban yang dimiliki oleh kaum muslimin. Sebab prinsip persamaan dalam Islam adalah pengakuan hak-hak yang sama antara kaum muslimin dan bukan muslimin.

Persamaan yang mencakup berbagai aspek kehidupan dapat dirujuk dalam jiwa pada shahifat tersebut yang menyatakan, bahwa penduduk Madinah adalah umat yang satu, yaitu umat yang memiliki status yang sama dalam kehidupan sosial, hak membela diri, persamaan tanggung jawab dalam mempertahankan keamanan kota Madinah, persamaan kewajiban dalam memikul belanja perang bila diperlukan, persamaan hak dalam memberikan saran dan nasehat untuk kebaikan, dan persamaan hak kebebasan dalam memilih agama dan keyakinan, serta hak mengatur kehidupan ekonomi masing-masing juga sama, ‘waannal yahudi nafaqatahum wa ‘alal muslimina nafaqahum’.

Prinsip di atas sebagaimana sabda Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan oleh imam Ahmad, ‘Wahai manusia, ingatlah sesungguhnya Tuhan kamu satu (Allah SWT), dan bapak kamu satu (semua berasal dari nabi Adam as). Ingatlah, tidak ada keutamaan orang Arab dengan orang yang bukan Arab (a’jami), dan tidak pula sebaliknya, tidak ada keistimewaan orang kulit berwarna (ahmar) dengan orang kulit hitam dan sebaliknya, kecuali karena ketaqwaannya”.

Demikian juga al Qur’an menegaskan tentang prinsip-prinsip persamaan sebagaiman diurai dalam surah an Nisa ayat 1, surah al A’raf ayat 189, surah Azzumar ayat 6. Kemudian surah Fathir ayat 11 surah al mukmin ayat 67 yang menerangkan asal usul kejadian manusia, yaitu dari setetes air mani, dan setelah itu menjadi segumpal darah dan membentuk segumpal daging dan seterusnya.

Walaupun disadari, bahwa antara manusia terdapat perbedaan dari segi jenis kelamin, warna kulit (ras), sifat pembawaan, bakat, kekuatan fisik, ketrampilan, kemampuan intelektual dan pendidikan, kedudukan sosial-ekonomi, dan sebagainya, namun sebagai manusia, mereka adalah sama dan tetap sama.

Perbedaan-perbedaan yang nyata ini bukan alasan untuk saling membedakan satu sama lain, sebaliknya dengan adanya perbedaan itulah umat manusia untuk saling mengenali dan membantu sesama mereka. Hal ini ditegaskan dalam sabda Nabi Muhammad SAW sebagaimana diriwayatkan oleh imam Muslim, Ibn Majah. Ahmad dari Abu Hurairah, ‘ Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada bentuk dan rupa kamu, dan harta kamu, akan tetapi Allah hanya memandang kepada hati kamu dan amal perbuatan kamu”. Dalam prinsip persamaan ini, Nabi SAW menetapkan agar akar-akar fanitisme jahiliyah yang berbangga diri dengan keturunan dan ras nya atau kekayaannnya dapat dihilangkan dan memunculkan rasa kebersamaan yang melahirkan persatuan dan persaudaraan sejati, sehingga harkat dan martabat kemanusiaannya dapat terangkat dan juga dapat mengembangkan potensi setiap diri secara wajar dan layak .

Demikian juga sepirit al Qur’an yang menjelaskan adanya perbedaan warna kulit dan lainnya, bukan untuk menunjukkan superioritas mereka, tetapi lebih dari itu agar satu warna dengan warna lainnya dapat mengenali karakter sehingga dapat dijalinnya suatu kerja sama.

Dari ketiga prinsip di atas maka secara jelas dapat dibuktikan bahwa Islam memiliki prinsip-prinsip demokrasi yang utuh berdasarkan wahyu ilahi. Dan sejarah membuktikan bahwa dimana Islam merupakan pemeluk mayoritas, maka golongan minoritas terlindungi. Karena ada hak asasi yang dijamin syariat yang harus diberlakukan secara adil pada semua golongan

PRINSIP-PRINSIP DEMOKRASI DALAM ISLAM

Jika dilihat basis empiriknya, menurut Aswab Mahasin (1993:30), agama dan demokrasi memang berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki dialeketikanya sendiri. Namun begitu menurut Mahasin, tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi. Dalam perspektif Islam elemen-elemen demokrasi meliputi: syura, musawah, adalah, amanah, masuliyyah dan hurriyyah, bagimana makna masing-masing elemen tersebut?

Pertama, Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura:38 dan Ali Imran:159 Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksana syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang bertugas memilih kepala negara atau khalifah (Madani, 1999: 12).

Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbanagan dan tanggung jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang lain karena pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama.

Kedua, al-‘adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-Nahl:90; QS. as-Syura:15; al-Maidah:8; An-Nisa’:58 dst. Betapa prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat diperlukan, sehingga ada ungkapan yang “ekstrim” berbunyi: “Negara yang berkeadilan akan lestari kendati ia negara kafir, sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia negara (yang mengatasnamakan) Islam”. (lihat Madani, 1999:14).

Ketiga, al-Musawah adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat.

Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat demikian juga kepada Tuhan. Dengan begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan adil. Sebagian ulama’ memahami al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-syura dan al-‘adalah. Diantara dalil al-Qur’an yang sering digunakan dalam hal ini adalah surat al-Hujurat:13, sementara dalil sunnah-nya cukup banyak antara lain tercakup dalam khutbah wada’ dan sabda Nabi kepada keluarga Bani Hasyim (Tolchah, 199:26).

Keempat, al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah SWT dalam surat an-Nisa’:58.

Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa diminta, dan orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah bersyukur atas jabatan tersebut. Inilah etika Islam.

Kelima, al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa, kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yangh harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi. Dan kekuasaan sebagai amanah ini mememiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus dipertenggungjawabkan di depan Tuhan.

Seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah (Madani, 1999:13), bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya. Dengan dihayatinya prinsip pertanggung jawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat luas. Dengan demikian, pemimpin/penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan umat). Dus dengan demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan.

Keenam, al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, maka kezaliman akan semakin merajalela.

Jika suatu negara konsisten dengan penegakan prinsip-prinsip atau elemen-elemen demokrasi di atas, maka pemerintahan akan mendapat legitimasi dari rakyat. Dus dengan demikian maka roda pemerintahan akan berjalan dengan stabil.

Watak ajaran Islam sebagaimana banyak dipahami orang adalah inklusif dan demokratis. Oleh sebab itu doktrin ajaran ini memerlukan aktualisasi dalam kehidupan kongkret di masyarakat. Pertanyaannya kemudian, bagaimana realitas demokrasi di dunia Islam dalam sejarahnya?

Dalam realitas sejarah Islam memang ada pemerintahan otoriter yang dibungkus dengan baju Islam seperti pada praktek-praktek yang dilakukan oleh sebagian penguasa Bani ‘Abbasiyyah dan Umayyah. Tetapi itu bukan alasan untuk melegitimasi bahwa Islam agama yang tidak demokratis. Karena sebelum itu juga ada eksperimen demokratisasi dalam sejarah Islam, yaitu pada masa Nabi dan khulafaurrasyidin (lihat Mahasin, 1999:31).

Memang harus diakui, karena kepentingan dan untuk melanggengkan status quo raja-raja Islam, demokrasi sering dijadikan tumbal. Seperti pengamatan Mahasin (1999:31), bahwa di beberapa bagian negara Arab misalnya, Islam seolah-olah mengesankan pemerintahan raja-raja yang korup dan otoriter. Tetapi realitas seperti itu ternyata juga dialami oleh pemeluk agama lain. Gereja Katolik misalnya , bersikap acuh-tak acuh ketika terjadi revolusi Perancis. Karena sikap tersebut kemudian Katolik disebut sebagai tidak demokratis. Hal yang sama ternyata juga dialami oleh agama Kristen Protestan, diamana pada awal munculnya, dengan reformasi Martin Luther Kristen memihak elit ekonomi, sehingga merugikan posisi kaum tani dan buruh. Tak mengherankan kalau Kristen pun disebut tidak demokratis.

Melihat kenyataan sejarah yang dialami oleh elit agama-agama di atas, maka tesis Huntington dan Fukuyama yang mengatakan, “bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak kompatibel dengan demokrasi” adalah tidak benar. Bahkan Huntington mengidentikkan demokrasi dengan the Western Christian Connection (lihat Imam, 1999:x-xi, Hefner, 2000:4-5). Inilah memang, betapa sulitnya menegakkan demokrasi, yang di dalamnya menyangkut soal: persamaan hak, pemberian kebebasan bersuara, penegakan musyawarah, keadilan, amanah dan tanggung jawab. Sulitnya menegakkan praktik demokratisasi dalam suatu negara oleh penguasa di atas, seiring dengan kompleksitas problem dan tantangan yang dihadapinya, dan lebih dari itu adalah menyangkut komitmen dan moralitas sang penguasa itu sendiri. Dengan demikian, meperhatikan relasi antara agama dan demokrasi dalam sebuah komunitas sosial menyangkut banyak variabel, termasuk variabel independen non-agama.

No comments:

Post a Comment