Ramadhan telah pergi meninggalkan kita. Syawal pun hadir dan seluruh umat Islam menyambutnya dengan sukacita. Kesukacitaan itu juga menuai kesedihan yang tampak nyata, melalui tradisi salam-salaman, mohon maaf kepada sesama, hingga nuansa haru biru mewarnai jutaan umat Muslim dunia.
Itulah jejak indah selepas Ramadhan, disadari maupun tidak, manusia berusaha membuka diri untuk saling introspeksi dan bersedia meminta juga memberi maaf.
Ramadhan dan Syawal bagai dua sisi mata uang. Jika dalam bulan Ramadhan, Allah menghendaki kita untuk melatih jasmani dan rohani melalui puasa, maka di bulan Syawal inilah kita dikehendaki oleh Allah untuk membesarkannya.
Perintah untuk membesarkan asma Allah ini tertuang dalam Quran Surah Al-Baqarah ayat 185, “.... dan agar kalian menyempurnakan hitungan (bilangan) hari puasa dan agar kalian mengagungkan (memuji) Allah atas apa yang Dia telah tunjukkan kepada kaliannn dan agar kalian dapat bersyukur.”
Pengagungan asma Allah melalui gemuruh takbir sudah terdengar tepat setelah diresmikannya Idul Fitri tahun ini jatuh pada Ahad, 19 Agustus. Sesaat itu pula umat Muslim dari berbagai penjuru mengumandangkan lafadz yang sama dengan kebahagiaan dan perayaan yang berbeda-beda di tiap sudut ibukota.
Namun, kebesaran Tuhan tidak cukup hanya ramai dilafadzkan saat malam takbiran dan Idul Fitri. Lebih dari itu, memaknai takbir juga harus disertakan dengan niat sungguh dalam hati dan menyadari betul bahwa hanya Allah saja yang Mahabesar dan selalu melibatkan Allah dalam segala perkara duniawi.
Makna takbir yang sesungguhnya juga melahirkan rasa syukur. Syukur dalam perspektif luas yang dikategorikan menjadi dua, kepada Khalik juga pada makhluk. Syukur kepada Khalik adalah syukur yang dilafadzkan melalui lisan (Alhamdulillahi Rabbil alamin)—dalam segala kondisi.
Atau dalam suatu riwayat, jika kita mendapatkan hal yang kurang kita sukai, maka kita tetap harus memuji Allah dengan lafadz “Alhamdulillah ala kulli haal”. Syukur dengan lafadz akhirnya disertai oleh niat dalam hati untuk memanifestasikan syukur itu agar tidak berbuat dosa (maksiat) pada-Nya.
Sedangkan syukur kepada makhluk, diaplikasikan dengan kemurahan hati untuk berbagi dengan sesama. Baik berbagi hal-hal yang bersifat materi maupun nonmateri. Bagi orang yang memiliki kelebihan harta, maka dalam hartanya tersebut tersimpan hak-hak orang miskin yang meminta-minta, maupun miskin yag tidak meminta (Lis saaili wal mahruum).
Itulah sebabnya mengapa Ramadhan ditutup dengan pemberian zakat fitrah, sebab ada nilai sosial dalam tiap ibadah yang Allah perintahkan untuk segenap hamba-Nya. Dan, bagi orang yang diberi kelebihan non materi (ilmu), selayaknya mengamalkan ilmu tersebut agar oranglain dapat bertambah ilmunya dan si pengajar bertambah keihlasan dan pahalanya.
Sendi-sendi ibadah yang Allah perintahkan dalam Quran, selalu mengandung nilai-nilai sosial. Dalam Quran, Allah selalu merangkai zakat, seusai lafadz shalat (Wa aqiimush shaalah wa aatuz zakaah), tujuannya jelas, agar kita tidak hanya menyibukkan diri bersama-Nya, namun juga bersama makhluk sekeliling yang Allah ciptakan untuk kelangsungan hidup kita.
Dan akhirnya, takbir yang melahirkan tasyakur itu bertujuan untuk membuang jauh-jauh sifat takabur. Takabur dalam arti sempit bahwa jangan sampai selepas bertakbir, membesarkan Allah, justru hati ini berpaling untuk membesarkan hal-hal lain selain Allah, baik itu harta, tahta, jiwa, atau bahkan hawa nafsu buruk. Na’udzubillah. Wallahua’lam.
Itulah jejak indah selepas Ramadhan, disadari maupun tidak, manusia berusaha membuka diri untuk saling introspeksi dan bersedia meminta juga memberi maaf.
Ramadhan dan Syawal bagai dua sisi mata uang. Jika dalam bulan Ramadhan, Allah menghendaki kita untuk melatih jasmani dan rohani melalui puasa, maka di bulan Syawal inilah kita dikehendaki oleh Allah untuk membesarkannya.
Perintah untuk membesarkan asma Allah ini tertuang dalam Quran Surah Al-Baqarah ayat 185, “.... dan agar kalian menyempurnakan hitungan (bilangan) hari puasa dan agar kalian mengagungkan (memuji) Allah atas apa yang Dia telah tunjukkan kepada kaliannn dan agar kalian dapat bersyukur.”
Pengagungan asma Allah melalui gemuruh takbir sudah terdengar tepat setelah diresmikannya Idul Fitri tahun ini jatuh pada Ahad, 19 Agustus. Sesaat itu pula umat Muslim dari berbagai penjuru mengumandangkan lafadz yang sama dengan kebahagiaan dan perayaan yang berbeda-beda di tiap sudut ibukota.
Namun, kebesaran Tuhan tidak cukup hanya ramai dilafadzkan saat malam takbiran dan Idul Fitri. Lebih dari itu, memaknai takbir juga harus disertakan dengan niat sungguh dalam hati dan menyadari betul bahwa hanya Allah saja yang Mahabesar dan selalu melibatkan Allah dalam segala perkara duniawi.
Makna takbir yang sesungguhnya juga melahirkan rasa syukur. Syukur dalam perspektif luas yang dikategorikan menjadi dua, kepada Khalik juga pada makhluk. Syukur kepada Khalik adalah syukur yang dilafadzkan melalui lisan (Alhamdulillahi Rabbil alamin)—dalam segala kondisi.
Atau dalam suatu riwayat, jika kita mendapatkan hal yang kurang kita sukai, maka kita tetap harus memuji Allah dengan lafadz “Alhamdulillah ala kulli haal”. Syukur dengan lafadz akhirnya disertai oleh niat dalam hati untuk memanifestasikan syukur itu agar tidak berbuat dosa (maksiat) pada-Nya.
Sedangkan syukur kepada makhluk, diaplikasikan dengan kemurahan hati untuk berbagi dengan sesama. Baik berbagi hal-hal yang bersifat materi maupun nonmateri. Bagi orang yang memiliki kelebihan harta, maka dalam hartanya tersebut tersimpan hak-hak orang miskin yang meminta-minta, maupun miskin yag tidak meminta (Lis saaili wal mahruum).
Itulah sebabnya mengapa Ramadhan ditutup dengan pemberian zakat fitrah, sebab ada nilai sosial dalam tiap ibadah yang Allah perintahkan untuk segenap hamba-Nya. Dan, bagi orang yang diberi kelebihan non materi (ilmu), selayaknya mengamalkan ilmu tersebut agar oranglain dapat bertambah ilmunya dan si pengajar bertambah keihlasan dan pahalanya.
Sendi-sendi ibadah yang Allah perintahkan dalam Quran, selalu mengandung nilai-nilai sosial. Dalam Quran, Allah selalu merangkai zakat, seusai lafadz shalat (Wa aqiimush shaalah wa aatuz zakaah), tujuannya jelas, agar kita tidak hanya menyibukkan diri bersama-Nya, namun juga bersama makhluk sekeliling yang Allah ciptakan untuk kelangsungan hidup kita.
Dan akhirnya, takbir yang melahirkan tasyakur itu bertujuan untuk membuang jauh-jauh sifat takabur. Takabur dalam arti sempit bahwa jangan sampai selepas bertakbir, membesarkan Allah, justru hati ini berpaling untuk membesarkan hal-hal lain selain Allah, baik itu harta, tahta, jiwa, atau bahkan hawa nafsu buruk. Na’udzubillah. Wallahua’lam.
No comments:
Post a Comment