Berbahagialah orang-orang yang telah menunaikan puasa Ramadhan dan memelihara hawa nafsunya dari peringai kehinaan dan keinginan buruk setan. Berbahagialah orang-orang yang memasukkan kebahagiaan kepada anak yatim dan fakir-miskin di bulan Ramadhan.
Berbahagialah orang-orang yang memulai pengalaman baru dengan intensif beribadah di bulan suci. Berbahagialah orang-orang yang diringankan Allah SWT dalam berbuat kebaikan. Berbahagialah orang-orang yang memperbanyak doa dan pengharapan kepada Allah SWT di bulan termulia.
Berbahagialah dan berbahagialah orang-orang yang puasa dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah yang diterima oleh Allah SWT. Hal tersebut tidak lain karena Malaikat Jibril AS mendoakan kebaikan bagi orang-orang yang berpuasa dengan berbagai upaya kebaikan yang dilakukan di dalamnya dan Rasulullah SAW mengaminkannya.
Suatu hari, Rasulullah SAW menaiki tangga mimbar dan pada saat berada di atas tangga pertama, beliau berkata, “Amin”. Kemudian naik ke tangga kedua dan berkata, “Amin”. Lalu naik ke tangga ketiga dan berkata, “Amin”.
Ketika Rasulullah SAW turun mimbar dan memiliki waktu cukup luang dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasul, kami mendengar sebuah perkataan pada hari ini yang belum kami dengar sebelumnya.” Rasulullah SAW bertanya, “Kalian semua mendengarkannya?” Para sahabat berkata, “Iya”.
Rasulullah SAW lalu bersabda, "Sungguh, Jibril AS menyampaikan kepadaku pada saat aku berada di tangga mimbar dengan perkataannya, ‘Rugilah orang-orang yang mendapati kedua atau salah satu orang tuanya berumur tua, namun keduanya tidak menjadikannya masuk surga’. Aku (Rasulullah SAW) menjawab, ‘Amin’. Rugilah orang-orang yang jika namamu (Muhammad SAW) disebut, namun dia tidak mengucap shalawat kepadamu. Aku menjawab, ‘Amin’. Rugilah orang-orang yang mendapati Ramadhan namun tidak mendapat ampunan Allah. Aku menjawab, ‘Amin’." (HR. Tabrani).
Memasuki bulan Syawal, pertanyaan pertama bagi seorang Muslim adalah apakah semua atau sebagian kegiatan ibadah dan pendekatan kepada Allah SWT di bulan Ramadhan akan ditradisikan dan dikonsistensikan di luar Ramadhan ataukah sama sekali tidak akan dilakukan? Dengan kata lain, apakah komunikasi intensif dengan Allah SWT dan hubungan baik sesama manusia di bulan Ramadhan akan memberi pengaruh seluruhnya, sebagiannya atau tidak memberi pengaruh sama sekali di luar Ramadhan?
Hal tersebut karena seorang mukmin sejati bukanlah "hamba" Ramadhan yang beribadah dan memanfaatkan peluang untuk mendapatkan pahala dan ridha Allah SWT hanya di bulan Ramadhan. Seorang mukmin sejati bukanlah seorang yang berbuat kebajikan semaksimal mungkin selama satu bulan dan meninggalkannya di sebelas bulan kemudian, karena Allah SWT berfirman, "Dan sembahlah Tuhanmu sampai keyakinan datang kepadamu." (QS. Al-hijr: 99).
Jika di bulan Ramadhan seorang mukmin sejati menyibukkan dirinya dengan kesulitan beribadah, taat dan istiqamah, maka di luar bulan Ramadhan ia juga akan menyibukkan diri dengan ibadah, taat, berbuat baik dan berakhlak mulia.
Orang-orang yang beribadah, taat dan menjalin silaturahim hanya di bulan Ramadhan dan meninggalkannya pasca Ramadhan, apalagi kembali kepada kehidupan yang dibenci dan dimurkai Allah, maka orang-orang itu masuk dalam kategori munafik.
Hal tersebut karena dalam diri mereka telah hilang sifat-sifat pribadi Muslim yang baik yang berpihak pada kebenaran, kebaikan dan keadilan; mengingkari perintah Allah; memutus tali persaudaraan; beribadah karena mayoritas kaum Muslimin melakukan ibadah serupa dan membuat kerusakan di bumi. Allah SWT berfirman, "Dan orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutus apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk." (QS. Ar-Ra'd: 25).
Yang dituntut dari seorang Muslim adalah menjadikan hari-hari di luar Ramadhan seperti Ramadhan, sehingga konsisten dalam dalam ibadah, takwa, silaturrahim, berbuat baik dan istiqamah sebagaimana penggambaran yang diberikan oleh Allah SWT terhadap pribadi mukmin di dalam Surah Al-Mu'minun: 1-11. Wallahua'lam.
Berbahagialah orang-orang yang memulai pengalaman baru dengan intensif beribadah di bulan suci. Berbahagialah orang-orang yang diringankan Allah SWT dalam berbuat kebaikan. Berbahagialah orang-orang yang memperbanyak doa dan pengharapan kepada Allah SWT di bulan termulia.
Berbahagialah dan berbahagialah orang-orang yang puasa dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah yang diterima oleh Allah SWT. Hal tersebut tidak lain karena Malaikat Jibril AS mendoakan kebaikan bagi orang-orang yang berpuasa dengan berbagai upaya kebaikan yang dilakukan di dalamnya dan Rasulullah SAW mengaminkannya.
Suatu hari, Rasulullah SAW menaiki tangga mimbar dan pada saat berada di atas tangga pertama, beliau berkata, “Amin”. Kemudian naik ke tangga kedua dan berkata, “Amin”. Lalu naik ke tangga ketiga dan berkata, “Amin”.
Ketika Rasulullah SAW turun mimbar dan memiliki waktu cukup luang dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasul, kami mendengar sebuah perkataan pada hari ini yang belum kami dengar sebelumnya.” Rasulullah SAW bertanya, “Kalian semua mendengarkannya?” Para sahabat berkata, “Iya”.
Rasulullah SAW lalu bersabda, "Sungguh, Jibril AS menyampaikan kepadaku pada saat aku berada di tangga mimbar dengan perkataannya, ‘Rugilah orang-orang yang mendapati kedua atau salah satu orang tuanya berumur tua, namun keduanya tidak menjadikannya masuk surga’. Aku (Rasulullah SAW) menjawab, ‘Amin’. Rugilah orang-orang yang jika namamu (Muhammad SAW) disebut, namun dia tidak mengucap shalawat kepadamu. Aku menjawab, ‘Amin’. Rugilah orang-orang yang mendapati Ramadhan namun tidak mendapat ampunan Allah. Aku menjawab, ‘Amin’." (HR. Tabrani).
Memasuki bulan Syawal, pertanyaan pertama bagi seorang Muslim adalah apakah semua atau sebagian kegiatan ibadah dan pendekatan kepada Allah SWT di bulan Ramadhan akan ditradisikan dan dikonsistensikan di luar Ramadhan ataukah sama sekali tidak akan dilakukan? Dengan kata lain, apakah komunikasi intensif dengan Allah SWT dan hubungan baik sesama manusia di bulan Ramadhan akan memberi pengaruh seluruhnya, sebagiannya atau tidak memberi pengaruh sama sekali di luar Ramadhan?
Hal tersebut karena seorang mukmin sejati bukanlah "hamba" Ramadhan yang beribadah dan memanfaatkan peluang untuk mendapatkan pahala dan ridha Allah SWT hanya di bulan Ramadhan. Seorang mukmin sejati bukanlah seorang yang berbuat kebajikan semaksimal mungkin selama satu bulan dan meninggalkannya di sebelas bulan kemudian, karena Allah SWT berfirman, "Dan sembahlah Tuhanmu sampai keyakinan datang kepadamu." (QS. Al-hijr: 99).
Jika di bulan Ramadhan seorang mukmin sejati menyibukkan dirinya dengan kesulitan beribadah, taat dan istiqamah, maka di luar bulan Ramadhan ia juga akan menyibukkan diri dengan ibadah, taat, berbuat baik dan berakhlak mulia.
Orang-orang yang beribadah, taat dan menjalin silaturahim hanya di bulan Ramadhan dan meninggalkannya pasca Ramadhan, apalagi kembali kepada kehidupan yang dibenci dan dimurkai Allah, maka orang-orang itu masuk dalam kategori munafik.
Hal tersebut karena dalam diri mereka telah hilang sifat-sifat pribadi Muslim yang baik yang berpihak pada kebenaran, kebaikan dan keadilan; mengingkari perintah Allah; memutus tali persaudaraan; beribadah karena mayoritas kaum Muslimin melakukan ibadah serupa dan membuat kerusakan di bumi. Allah SWT berfirman, "Dan orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutus apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk." (QS. Ar-Ra'd: 25).
Yang dituntut dari seorang Muslim adalah menjadikan hari-hari di luar Ramadhan seperti Ramadhan, sehingga konsisten dalam dalam ibadah, takwa, silaturrahim, berbuat baik dan istiqamah sebagaimana penggambaran yang diberikan oleh Allah SWT terhadap pribadi mukmin di dalam Surah Al-Mu'minun: 1-11. Wallahua'lam.
No comments:
Post a Comment