Ada goresan indah tentang harga sebuah kemuliaan di balik perjanjian Hudaibiyah. Alkisah, Abu Jandal bin Suhail seusai penandatanganan perjanjian yang bersejarah itu ingin bergabung dan masuk Islam. Ayahnya, Suhail, yang juga menjadi perunding wakil kafir Quraisy, mencegah keras dan menyiksanya. Kaum Muslimin iba menyaksikannya, seraya memohon agar Nabi berkenan menerima anak Suhail itu. Nabi dengan santun menolaknya seraya menyuruh para sahabat membiarkan pemuda heroik itu kembali lagi ke Makkah.
Nabi Muhammad dan kaum Muslimin saat itu terikat oleh perjanjian Hudaibiyah yang harus ditepati meski beberapa poin secara lahiriah terasa merugikan. Antara lain, siapa pun warga Quraisy yang ingin bergabung dengan Muhammad di Madinah harus dikembalikan ke Makkah. Sebaliknya, siapa pun warga Madinah yang bergabung ke Quraisy harus diizinkan dan tidak boleh dikembalikan.
Abu Jandal mengiba, mengapa dia dikembalikan kepada kaum Quraisy, padahal sudah menderita dan sungguh-sungguh ingin bergabung ke Madinah. Nabi tetap mencegahnya. “Abu Jandal, tabahkan hatimu. Kita terikat perjanjian dan tidak akan mengkhianati. Sesungguhnya orang yang meninggalkan kita untuk pergi kepada mereka (Quraisy Makkah) akan dijauhkan dari rahmat Allah. Sebaliknya, barang siapa yang datang kepada kita dan kita mengembalikan kepada mereka, maka Allah akan memberikan jalan keluar baginya.”
Al-Fata wa al-Wafa
Nabi mengajarkan sikap utama ialah menepati janji dan apa pun yang sudah menjadi ikatan dalam bermuamalah meski dengan pihak kafir sekalipun. Itulah watak al-fata(kesatriaan) dan alwafa( kesetiaan) yang menjadi ciri kehormatan diri setiap Muslim. Jangankan untuk transaksi yang sama-sama menguntungkan, bahkan untuk ikatan yang terasa merugikan. Inilah mutiara ihsan yang diteladankan Rasulullah bagi umat nya, bagaimana hidup dalam kemuliaan diri.
Generasi Muslim wajib diajarkan makna kehormatan atau kemuliaan diri agar menjadi kesatria dan tidak menjadi “pemulung” da lam kehidupan. Sejarah mencatat kesatriaan ashab al-kahfi dalam menghadapi kezaliman penguasa. Allah melukis kan sifat “al-fata” ( fityat) pada mereka. “Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka ada lah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk me reka petunjuk.” (QS al-Kahfi: 13).
Nabi Ibrahim sewaktu muda juga memiliki sifat al-fata(kesatria) ketika menghancurkan ber hala-berhala. “Mereka berkata, kami dengar ada seorang pemu da yang mencela berhala-ber hala ini yang bernama Ibrahim.” (QS al-Anbiya: 60). Menurut Qu s yairi, berhala bukan sekadar lam bang kemusyrikan kepada Tuhan, melainkan pemberhalaan ego oleh manusia yang menjadikan hawa-nafsu sebagai tuhan. Termasuk berhala jabatan, uang, dan kepentingan serbaduniawi yang sering meluruhkan etika dan akal sehat.
Etika Islam mengajarkan kesetiaan pada nilai-nilai luhur, termasuk setia pada janji betapa pun pahit. Itulah al-wafa, yakni komitmen pada tanggung jawab dan ikatan janji, baik tertulis maupun tidak tertulis, sebagaimana diajarkan Nabi dalam peranjian Hudaibiyah. Jangan kan ditagih, ketika tidak ditagih pun manakala berjanji menjadi keniscayaan etik untuk me me nuhinya, berat maupun ringan. Itulah harga yang harus dibayar dari sebuah ikatan dengan sesama sebagai wujud kemuliaan diri, yang melampaui transaksitransaksi verbal dalam relasi antarmanusia terhormat.
Abu Dzar al-Ghifari pernah menjadi penjamin atas pemuda yang hendak dihukum mati, padahal dia tak mengenalnya. Sahabat Nabi yang zuhud itu hanya ingin menunjukkan kemuliaan Islam dalam perilaku. Namun, pemuda terpidana itu pun berji a kesatria dan setia menepati jan ji sehingga dia kembali tepat waktu untuk dieksekusi. Abu Dzar dan pemuda Badui itu sama-sama meyakini, “Orang beriman harus selalu menepati ucapannya.” Sekali ikrar dilahirkan tak boleh surut ke belakang, itulah kehormatan setiap Muslim.
Ketika orang-orang beriman kehilangan kesatriaan dan kesetiaan pada amanah, janji, kontrak, transaksi, dan nilai-nilai utama, kepada siapa lagi publik harus percaya? Tatkala orang-orang Is lam tak lagi dapat dipercaya, luruhlah kehormatan dan kemuliaan dirinya selaku umat beriman.
Orang lain akan mencibir, ternyata Islam hanya indah dalam re orika dan klaim suci, tapi praktiknya jauh panggang dari api. Atribut luar serbabertakwa, tapi ringkih etika. Kaya lisan, tetapi miskin perbuatan. Keber imanan yang fitri ditukar dengan sifat nifak yang dicirikan kata tak sejalan tindakan, janji tak ditepati, dan amanah dikhianati.
Mozaik etik
Hidup Muslim bukan sekadar urusan menang dan sukses, me lainkan kekayaan etik. Kesatriaan dan kesetiaan pada nilai-nilai kebajikan, seperti amanah, janji, tanggung jawab, dan idealisme adalah mozaik etik yang tidak kalah penting dan memberi ba nyak makna terindah. Jika hu kum memberi kepastian dan poli tik memberi jalan capaian kepentingan, etika membingkai ma nusia untuk melakukan pi lihan-pilihan baik-buruk atau pantas-tidak pantas yang mem buat manusia menjadi beradab.
Perbedaan kontras manusia daripada makhluk Tuhan lainnya justru terletak pada kesadaran etik, selain kesadaran nalar. Nilai kesatriaan dan kesetiaan bagi setiap Muslim sungguh merupakan kekayaan ruhani yang terpantul dalam sikap dan tindakan yang berani menjunjung tinggi kebenaran di atas lainnya meski harus mengorbankan jiwa dan permata dunia.
Pantulannya tecermin dalam kata sejalan tindakan. Orang Jepang mempraktikkan hidup samurai, demikian pula bangsabangsa lain yang memiliki ka rak ter sebagai kesatria. Jika sa lah, berani mundur meskipun tak diminta. Bila ingkar janji, berani ambil risiko sendiri meski harus kehilangan jabatan dan lumbung uang. Bukan karakter pemulung takhta dan harta dengan membenamkan kehormatan diri.
Jika warga dan elite bangsa di seluruh penjuru bumi memiliki sifat al-fata wa al-wafa, akan damai, makmur, dan adil setiap negeri. Hukum, politik, dan berbagai transaksi apa pun tidak akan diakali dan dimanipulasi ka rena pelakunya tepercaya.
Sebaik apa pun sistem manakala manusianya culas dan tak memiliki kehormatan diri, semua hal dapat diperjualbelikan dan diselewengkan. Uang, kekuasaan, dan hal-hal yang serbaduniawi sering kali menggerus nilai-nilai etik sehingga manusia kehilangan kemuliaan dan kehormatan diri.
Dunia akan terasa indah oleh perangai-perangai yang serbaetik. Hans Kung dan kawan-kawan telah lama mengumandangkan pentingnya nilai-nilai etik ( global etics) untuk menjadi oase atas arah dunia saat ini yang serbakeras, ganas, memangsa, dan menghancurkan. Agama dan kalangan umat beragama semestinya menjadi kekuatan kanopi suci dan memberi harapan bagi masa depan dunia yang lebih damai, adil, makmur, bermartabat, dan mencerahkan semua orang.
Bukankah misi Nabi akhir zaman adalah memuliakan akhlak dan menjadikan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam? Ketika suatu bangsa kehilangan pertimbangan-pertimbang an etik dan hanya mengandalkan serbakeperkasaan, tunggulah ambang kehancuran.
Pada zaman Yunani Kuno, orang-orang Sparta diajarkan mencuri sebagai latihan mengasah tipu muslihat dalam menghadapi musuh. Namun, tradisi mencuri, muslihat, dan dusta itu kemudian menjadi racun laksana senjata makan tuan. Lalu, lahirlah hukum dan kontrak sosial s bagai pengekang, tetapi kedua tatanan itu rapuh karena manusia telanjur ganas dan licik. Akhirnya, peradaban Sparta yang digdaya itu jatuh dan menjadi puing sejarah.
Dikutip dari refleksi Harian Republika, Edisi Ahad 15 April 2012 dengan judul "Kemuliaan di Hudaibiyah".
No comments:
Post a Comment